Permasalahan identitas etnis dan budaya
akan selalu menjadi topik perdebatan yang tidak berkesudahan. Karena perbedaan
etnis, budaya, dan agama seringkali menjadi sumber-sumber konflik yang hebat
antara orang-orang Indonesia yang mengaku berbhinneka tunggal ika. Pada masa
pemerintahan orde baru, konflik-konflik etnis dan keagamaan merupakan hal yang
biasa dalam perpolitikan Indonesia.
Sejumlah pakar berpendapat bahwa
kerusuhan yang melibatkan kelompok etnis dan agama, disebabkan oleh provokator
yang didalangi oleh Soeharto, yang pada masa itu tengah berjaya dengan
kekuasaannya. Konflik etnis, budaya, dan agama, merupakan alat yang dipakai
untuk menutupi kebobrokan sistem pemerintahan pada masa orde baru.
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi
misalnya, pada tahun 1999-2000 di Ambon (antara orang-orang Kristen dan
Muslim), di Sambas (antara orang-orang Melayu, Dayak, dan Madura), dan
sebagainya. Kerusuhan tersebut memperlihatkan adanya ketidakpedulian terhadap
semboyan Bangsa Indonesia, yaitu bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetapi
tetap satu jua.
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat
asli Kalimantan), merupakan salah satu suku di Indonesia yang sering terlibat
konflik. Di awal 1997 dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan terjadi
antara orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Menurut salah satu
tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi pada awalnya bukan antara
orang-orang Dayak dan Madura. Melainkan antara orang Melayu dan Madura.
Walaupun ada fakta yang menyatakan hanya
ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media masa
membesar-besarkan keterlibatan Dayak, karena orang-orang Melayu menggunakan
simbol-simbol orang Dayak ketika melakukan kerusuhan. Di sisi lain, pemerintah
orde baru memobilisasi isu SARA untuk mengendalikan masyarakat melalui bahasa
dan etnisitas. Negara berusaha menyeragamkan perbedaan-perbedaan budaya demi
kepentingan ‘pembangunan nasional’(misalnya demi mempromosikan pariwisata).
Sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto,
tampaknya di berbagai daerah urutan prioritasnya sudah secara efektif dibalik.
Sekarang, pemikiran-pemikiran tentang pembangunan nasional dan modernisasi nasional telah
digantikan dengan konflik-konflik berbasis etnis yang berkaitan dengan isu
pembangunan yang tidak merata dan marjinalisasi masyarakat asli (adat).
Dayak
bukanlah sebuah realitas objektif yang kuno, melainkan sebuah konstruksi yang
relatif modern. Istilah ‘Dayak’ secara kolektif menunjuk kepada orang-orang
non-Muslim atau non-Melayu yang merupakan penduduk asli Kalimantan pada umumnya
(lihat King, 1993). Arti
dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih diperdebatkan. Menurut sebagian pengarang,
‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu
berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang
yang tinggal di hulu sungai.
Suku Dayak Sebagai Suku yang Termarjinalkan
Orang Dayak telah mengalami berbagai
kerugian sejak zaman pra-kolonial. Situasi ini dapat dipahami hanya dengan
mengacu pada sejarah daerah itu. Sebelum kemerdekaan Indonesia, terdapat banyak
kerajaan di Kalimantan Timur, tetapi Kesultanan Kutai adalah yang tertua,
berasal dari abad kelima belas (Magenda,1991). Sebelum masa penjajahan Belanda,
wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai meliputi orang-orang Dayak di pedalaman.
Magenda menunjuk bahwa sebelumnya, pada
akhir abad ke lima belas, ‘kesultanan itu sesungguhnya sudah menjadi federasi
yang longgar yang terdiri dari banyak komunitas Dayak dengan seorang raja
Melayu di puncak kekuasaannya’(1991:2). Namun, Kesultanan Kutai yang baru pada
awal abad ke enam belas, ‘adalah sebuah kesultanan Melayu par excellence’,
serupa dengan kesultanan-kesultanan Melayu lainnya di daerah-daerah pesisir
Sumatra dan Kalimantan (Magenda. 1991:2)
Baik Magenda (1991) maupun Rousseau
(1990) menulis bahwa orang-orang Kutai berusaha menguasai orang-orang Dayak
tetapi mereka tidak dapat melakukan sepenuhnya, karena orang-orang Dayak bisa
berpindah lebih jauh ke pedalaman. Datangnya orang-orang Banjar membantu
kesultanan itu dalam memperluas kekuasaan mereka terhadap orang-orang Dayak
dengan mendirikan kota-kota kecil di sepanjang sungai Mahakam. Mulai dari
Samarinda hingga ke Long Iram.
Orang-prang Banjar juga masuk ke dalam
birokrasi kolonial. Mereka membangun pemukiman bernama Samarinda yang
dikemudian hari menjadi rumah bagi Residen Belanda menyusul konsolidasi
kekuasaan Belanda atas Kesultanan Kutai. Banyak orang Banjar diperkerjakan di
tingkat-tingkat rendahan di lingkungan pemerintahan kolonial Belanda setelah
Samarinda dibangun menjadi sebuah pusat pemerintahan Belanda.
Orang-orang Banjar Samarinda
lama-kelamaan menjadi elite birokrat terpelajar di Kalimantan Timur.
Orang-orang Banjar yang pindah ke Samarinda kebanyakan adalah orang-orang dari
kelas menengah dan atas, yang berasal dari Banjarmasin. Sejumlah besar orang
Banjar tetap aktif dalam aktifitas perdagangan, dan akhirnya mengungguli
orang-orang Bugis sebagai kelompok dagang yang paling dominan di daerah itu.
Djuweng (1996:6) mengatakan bahwa
sebelum kemerdekaan, kata ‘Dayak’ adalah sebuah istilah yang disalahgunakan.
Interpretasi orang tentang Dayak adalah kotor, pembohong, liar, atau
terbelakang (1996:6). Pendidikan pada zaman penjajahan, yang dilaksanakan dan
diawasi oleh kesultanan-kesultanan, tidak merangkul orang-orang Dayak.
Jika orang Dayak ingin melanjutkan
pendidikannya setelah tahun ketiga, mereka harus masuk Islam, meninggalkan
identitas kultural, sosial dan agamanya. Selain itu, jika mereka bekerja pada
pemerintahan kolonial dan ingin dipromosikan, maka mereka harus terlebih dahulu
menanggalkan idenitas Dayak mereka (lihat Djuweng, 1996:6-7).
Menurut Djuweng (1996:7) citra-citra
negatif yang diasosiasikan dengan orang-orang Dayak masih berlaku hingga
sekarang. Di dalam wacana-wacana pembangunan dan modenisasi, orang-orang Dayak
yang hidup sebagai peladang-peladang berpindah yang terasing masih
dikategorikan sebagai suku-suku nomaden yang terbelakang. Inilah landasan
argumen yang mengatakan bahwa orang Dayak harus dimukimkan, pola-pola pertanian
mereka diubah, dan kebudayaan mereka dilenyapkan.
Dicerabutnya orang-orang Dayak dari
kepemilikan tanahnya atas nama pembangunan, modernisasi, dan pertumbuhan
ekonomi dilegitimasi oleh stereotip negatif tentang keterbelakangan dan
keprimitifan itu (Djuweng 1996:7). Kebudayaan-kebudayaan Dayak telah sangat
menderita karena proyek ‘pemberadaban’ yang dilancarkan oleh pemerintaj
kolonial maupun pemerintah Indonesia yang menerapkan program-program
pembangunan.
Sumber
Maunati, Yekti.2004. Identitas Dayak. Yogyakarta: LKIS
Rangkuti, Shofia.2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Teori dan Konsep. Jakarta: Dian R.
Sumber
Maunati, Yekti.2004. Identitas Dayak. Yogyakarta: LKIS
Rangkuti, Shofia.2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Teori dan Konsep. Jakarta: Dian R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar