Rabu, 26 Desember 2012

Keberadaan Suku Dayak di Indonesia

Permasalahan identitas etnis dan budaya akan selalu menjadi topik perdebatan yang tidak berkesudahan. Karena perbedaan etnis, budaya, dan agama seringkali menjadi sumber-sumber konflik yang hebat antara orang-orang Indonesia yang mengaku berbhinneka tunggal ika. Pada masa pemerintahan orde baru, konflik-konflik etnis dan keagamaan merupakan hal yang biasa dalam perpolitikan Indonesia.
Sejumlah pakar berpendapat bahwa kerusuhan yang melibatkan kelompok etnis dan agama, disebabkan oleh provokator yang didalangi oleh Soeharto, yang pada masa itu tengah berjaya dengan kekuasaannya. Konflik etnis, budaya, dan agama, merupakan alat yang dipakai untuk menutupi kebobrokan sistem pemerintahan pada masa orde baru.
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi misalnya, pada tahun 1999-2000 di Ambon (antara orang-orang Kristen dan Muslim), di Sambas (antara orang-orang Melayu, Dayak, dan Madura), dan sebagainya. Kerusuhan tersebut memperlihatkan adanya ketidakpedulian terhadap semboyan Bangsa Indonesia, yaitu bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan), merupakan salah satu suku di Indonesia yang sering terlibat konflik. Di awal 1997 dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan terjadi antara orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Menurut salah satu tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura. Melainkan antara orang Melayu dan Madura.
Walaupun ada fakta yang menyatakan hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media masa membesar-besarkan keterlibatan Dayak, karena orang-orang Melayu menggunakan simbol-simbol orang Dayak ketika melakukan kerusuhan. Di sisi lain, pemerintah orde baru memobilisasi isu SARA untuk mengendalikan masyarakat melalui bahasa dan etnisitas. Negara berusaha menyeragamkan perbedaan-perbedaan budaya demi kepentingan ‘pembangunan nasional’(misalnya demi mempromosikan pariwisata).
Sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto, tampaknya di berbagai daerah urutan prioritasnya sudah secara efektif dibalik. Sekarang, pemikiran-pemikiran tentang pembangunan  nasional dan modernisasi nasional telah digantikan dengan konflik-konflik berbasis etnis yang berkaitan dengan isu pembangunan yang tidak merata dan marjinalisasi masyarakat asli (adat).
            Dayak bukanlah sebuah realitas objektif yang kuno, melainkan sebuah konstruksi yang relatif modern. Istilah ‘Dayak’ secara kolektif menunjuk kepada orang-orang non-Muslim atau non-Melayu yang merupakan penduduk asli Kalimantan pada umumnya (lihat King, 1993). Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih diperdebatkan. Menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai.

Suku Dayak Sebagai Suku yang Termarjinalkan
Orang Dayak telah mengalami berbagai kerugian sejak zaman pra-kolonial. Situasi ini dapat dipahami hanya dengan mengacu pada sejarah daerah itu. Sebelum kemerdekaan Indonesia, terdapat banyak kerajaan di Kalimantan Timur, tetapi Kesultanan Kutai adalah yang tertua, berasal dari abad kelima belas (Magenda,1991). Sebelum masa penjajahan Belanda, wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai meliputi orang-orang Dayak di pedalaman.
Magenda menunjuk bahwa sebelumnya, pada akhir abad ke lima belas, ‘kesultanan itu sesungguhnya sudah menjadi federasi yang longgar yang terdiri dari banyak komunitas Dayak dengan seorang raja Melayu di puncak kekuasaannya’(1991:2). Namun, Kesultanan Kutai yang baru pada awal abad ke enam belas, ‘adalah sebuah kesultanan Melayu par excellence’, serupa dengan kesultanan-kesultanan Melayu lainnya di daerah-daerah pesisir Sumatra dan Kalimantan (Magenda. 1991:2)
Baik Magenda (1991) maupun Rousseau (1990) menulis bahwa orang-orang Kutai berusaha menguasai orang-orang Dayak tetapi mereka tidak dapat melakukan sepenuhnya, karena orang-orang Dayak bisa berpindah lebih jauh ke pedalaman. Datangnya orang-orang Banjar membantu kesultanan itu dalam memperluas kekuasaan mereka terhadap orang-orang Dayak dengan mendirikan kota-kota kecil di sepanjang sungai Mahakam. Mulai dari Samarinda hingga ke Long Iram.
Orang-prang Banjar juga masuk ke dalam birokrasi kolonial. Mereka membangun pemukiman bernama Samarinda yang dikemudian hari menjadi rumah bagi Residen Belanda menyusul konsolidasi kekuasaan Belanda atas Kesultanan Kutai. Banyak orang Banjar diperkerjakan di tingkat-tingkat rendahan di lingkungan pemerintahan kolonial Belanda setelah Samarinda dibangun menjadi sebuah pusat pemerintahan Belanda.
Orang-orang Banjar Samarinda lama-kelamaan menjadi elite birokrat terpelajar di Kalimantan Timur. Orang-orang Banjar yang pindah ke Samarinda kebanyakan adalah orang-orang dari kelas menengah dan atas, yang berasal dari Banjarmasin. Sejumlah besar orang Banjar tetap aktif dalam aktifitas perdagangan, dan akhirnya mengungguli orang-orang Bugis sebagai kelompok dagang yang paling dominan di daerah itu.
Djuweng (1996:6) mengatakan bahwa sebelum kemerdekaan, kata ‘Dayak’ adalah sebuah istilah yang disalahgunakan. Interpretasi orang tentang Dayak adalah kotor, pembohong, liar, atau terbelakang (1996:6). Pendidikan pada zaman penjajahan, yang dilaksanakan dan diawasi oleh kesultanan-kesultanan, tidak merangkul orang-orang Dayak.
Jika orang Dayak ingin melanjutkan pendidikannya setelah tahun ketiga, mereka harus masuk Islam, meninggalkan identitas kultural, sosial dan agamanya. Selain itu, jika mereka bekerja pada pemerintahan kolonial dan ingin dipromosikan, maka mereka harus terlebih dahulu menanggalkan idenitas Dayak mereka (lihat Djuweng, 1996:6-7).
Menurut Djuweng (1996:7) citra-citra negatif yang diasosiasikan dengan orang-orang Dayak masih berlaku hingga sekarang. Di dalam wacana-wacana pembangunan dan modenisasi, orang-orang Dayak yang hidup sebagai peladang-peladang berpindah yang terasing masih dikategorikan sebagai suku-suku nomaden yang terbelakang. Inilah landasan argumen yang mengatakan bahwa orang Dayak harus dimukimkan, pola-pola pertanian mereka diubah, dan kebudayaan mereka dilenyapkan.
Dicerabutnya orang-orang Dayak dari kepemilikan tanahnya atas nama pembangunan, modernisasi, dan pertumbuhan ekonomi dilegitimasi oleh stereotip negatif tentang keterbelakangan dan keprimitifan itu (Djuweng 1996:7). Kebudayaan-kebudayaan Dayak telah sangat menderita karena proyek ‘pemberadaban’ yang dilancarkan oleh pemerintaj kolonial maupun pemerintah Indonesia yang menerapkan program-program pembangunan.

Sumber
Maunati, Yekti.2004. Identitas Dayak. Yogyakarta: LKIS
Rangkuti, Shofia.2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Teori dan Konsep. Jakarta: Dian R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar