Sabtu, 29 Desember 2012

Kekuatan Politik di Indonesia


            KEKUATAN POLITIK MILITER

Awal kehadiran militer dalam panggung politik di Indonesia erat kaitannya dengan sejarah kehadiran Negara Republik Indonesia yang diraih melalui revolusi fisik perang kemerdekaan, dimana pada periode ini dan bahkan pada periode setelah Indonesia merdeka peran dan kehadiran militer sangat diperhitungkan dalam ikut mengantarkan serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa aktor militer di Indonesia, hadir menjadi kekuatan politik yang sangat menentukan pentas politik nasional, khususnya pada mas Orde Baru:
a. Militer di Indonesia merupakan kekuatan politik yang memiliki organisasi paling solid dibanding dengan kekuatan politik lainnya. Kelebihannya yaitu, memiliki ideologi yang paling jelas, memiliki garis komando dalam kepemimpinan, memiliki sumber daya manusia yang berkualitas.
b.  Militer di Indonesia memiliki hak historis untuk ikut mengatur dan menentukan arah perjalanan Bangsa Indonesia.
c.  Kekuatan politik dari kalangan politisi sipil di Indonesia masih terfragmentasi sehingga dianggap menimbulkan keraguan di mata publik dalam  memimpin Indonesia.
d. Politisi sipil belum memiliki suatu model pengkaderan kepemimpinan yang berkualitas sebagaimana yang dimiliki oleh militer.
e.  Adanya produksi dan reproduksi wacana selama kurang lebih 30 tahun yang diproduksi oleh aparatus negara.
Seiring dengan dinamika perkembangan politik di Indonesia yang sering disebut sedang dalam masa transisi demokrasi, semenjak reformasi bergulir peran militer dalam ranah politik secara bertahap kewenangannya. Kewenangan militer dikurangi dan pada akhirnya militer dikembalikan peranannya menuju pada militer profesional, yakni menjadi militer yang mremiliki kompetensi di bidang pertahanan.
Sejarah politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah kehadiran kekuatan politik militer, oleh karenanya untuk dapat memahami dinamika politik Indonesia secara baik, tidak bisa mengabaikan pembahasan pada peran militer dalam sejarah politik Indonesia. Kajian pada politik Indonesia menjadi tidak akan komprehensif jika tidak membahas posisi militer dalam pentas politik nasional Indonesia.

                       KEKUATAN POLITIK PARTAI POLITIK

Tapak-tapak penting partai politik dalam sejarah perpolitikan Indonesia antara lain sejarah telah menulis dengan tinta emas, melalui rahim partai politiklah  gagasan tentang Indonesia merdeka lahir dan bersemi pada era masa pergerakan nasional. Bahkan jauh hari sebelum Negara Indonesia yang merdeka lahir.
Pada era yang sering disebut dengan Demokrasi Parlementer atau ada juga yang menyebutnya dengan Demokrasi Liberal (1945-1959), partai politik di Indonesia mendapatkan ruang gerak yang sangat luas. Partai politik dengan terbuka dapat mengekspresikan pilihan ideologinya melalui berbagai forum, media massa yang tersedia pada era tersebut. Garis ideologi yang ada di partai memiliki pengaruh yang kuat pada arah kebijakan pemerintahan. Maka pada era ini dalam sejarah politik Indonesia dikenal juga dengan lahirnya aliran politik.
Aliran-aliran pemikiran politik yang hadir dalam kehidupan politik Indonesia pada Era Demokrasi Liberal, yang mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia dapat dikelompokkan kedalam lima aliran pemikiran politik, yakni.
1.         Sosialisme Radikal (PSI).
2.         Nasionalis Radikal (PNI & PKI).
3.         Politik Islam Tradisional (Partai NU).
4.         Islam Modernis (Partai Masyumi).
5.         Tradisionalis (partai-partai politik lokal).
Fungsi partai politik untuk melakukan pendidikan politik (political education) kepada masyarakat Indonesia untuk mendorong rakyat agar mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik, menunaikan hak-hak politiknya pada satu sisi serta kewajiban politik pada sisi yang lain dapat berjalan dengan baik.
Partai politik pada Era Demokrasi Parlementer juga dapat menjalankan fungsi-fungsi komunikasi politik, interest articulation, interest agrigation, political recruitment, dan manajemen politik dengan cukup memadai. Demikian juga pada Era Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) 1959-1965 walaupun peran partai tidak sebesar pada Era Demokrasi Parlementer, partai politik tetap memiliki peran penting dalam kehidupan politik di Indonesia.
Kondisi yang kurang lebih sama diterima oleh partai politik pada Era Rezim Orde Baru, partai politik pada era ini mengalami kebijakan yang sering disebut sebagai kebijakan restruktrisasi politik dan deideologisasi partai politik. Dengan kebijakan tersebut partai politik di Indonesia jumlahnya dibatasi hanya tinggal tiga partai yakni PPP, PDI, ditambah Golkar dengan ideologi yang sama,yaitu asas tunggal Pancasila. Pada Era Orde Baru posisi partai politik lebih tidak berdaya berhadapan dengan pemerintah.
Kondisi kehidupan partai politik yang memprihatinkan baru mulai memiliki peluang ada perbaikan ketika kran demokrasi terbuka yang dimulai dengan peristiwa jatuhnya rezim Soeharto pada 1998. Semenjak bergulirnya Era reformasi sejak 1998, kehidupan politik di Indonesia memiliki peluang, untuk kembali melakukan penataan dan konsolidasi menuju ke suatu tatanan kehidupan politik yang demokratis. Konsolidasi kehidupan politik menuju suatu tatanan yang demokratis antara lain ditandai dengan diselenggarakannya suatu pemilu yang demokratis, secara periodik, mulai dari 1999, 2004, dan 2009.
Partai politik di Indonesia yang dilahirkan melalui proses pemilu 2009. Dari waktu ke waktu mengalami proses deligitimasi dari rakyat pemilih Indonesia. Faktornya antara lain.
1.         Hampir sema partai politik mengalami konflik internal.
2.         Hampir semua partai politik kadernya ada yang terjerat kasus korupsi.
3.         Gaya hidup mewah yang dipertontonkan oleh para politisi yang mewakili partai politik.
4.         Terjadinya berbagai skandal moral-seksual politisi.
5.         Munculnya fenomena politik kartel di lingkungan partai politik.

Public Speaking


Public speaking merupakan suatu hal yang sangat erat kaitannya dengan interaksi social yangmana seseorang harus mampu berbicara didepan pendengar baik formal maupun informal. Seorang public speaker harus mampu menempatkan dirinya sebagai pembicara dan sebagai pendengar. Dengan kata lain seorang public speaker harus dapat menghargai seorang pendengar, karena dengan itu seorang pendengar akan merasa dihormati oleh seorang pembicara, bukan sebagai pendengar saja tapi juga saling terkait antara pembicara dengan pendengar agar supaya seorang pendengar tidak bosan dengan keadaan yang ada.
Tidak menutup kemungkinan seorang pendengar dalam suatu acara atau seminar yang dihadapi oleh seorang public speaker mempunyai taraf kecerdasan yang berbeda-beda. Karena yang dihadapi oleh public speaker bukan hanya seorang pendengar akan tetapi berbagai orang pendengar dari kalangan manapun. Sehingga apa yang disampaikan oleh public speaker terhadap pendengar pastilah mempunyai pemahaman yang berbeda-beda dimata pendengar. Hal ini disebabkan karena latar belakang pendidikan, pengalaman dan taraf kecerdasan yang diperoleh oleh khalayak.
Seorang public speaker harus dapat mengusahakan dirinya agar khalayak mampu menjadi pendengar yang aktif, sehingga hal yang perlu dilakukan oleh public speaker adalah “memberikan pengantar yang menarik” dengan tujuan untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi pendengar, “menciptakan kewibawaan” dengan maksud untuk menciptakan kemampuan yang menarik dan penampilan yang simpatik agar khalayak menjadi tidak bosan dengan keadaan yang ada, “menciptakan landasan pengetahuan yang sama” dengan tujuan agar pembicara dapat menyesuaikan taraf pengetahuan dengan khalayak sehingga seorang public speaker mampu membawa khalayak kedalam taraf pengetahuan yang leih tinggi. Akan tetapi ada beberapa halangan-halangan menjadi pendengar yang baik antara lain:
1.      Kesulitan mendengarkan apa yang dibicarakan oleh public speaker karena sebab-sebab teknis.
2.      Gangguan dalam pandangan
3.      Hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian
4.      Kelelahan atau keadaan sakit
5.      Waktu yang terbatas
6.      Dan lain sebagainya
Dalam kaitannya dengan hal ini, seorang public speaker sebaiknya mempunyai berbagai pengetahuan dan kemampuan agar dapat melakukan public speaking dengan baik dan benar. Kemampuan-kemampuan tersebut diantaranya adalah:
1.      Mampu menyajikan materi dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti oleh pendengar
2.      Menyajikan bahan materi secara sistamatis
3.      Menguasai materi dengan baik
4.      Menyesuaikan diri dengan khalayak secara cepat
5.      Tidak menimbulkan ketegangan walaupun kadang-kadang menyajikan hal-hal yang bersifat kontroversional
6.      Membentuk opini yang positif
7.      Berdiskusi dengan lancer
8.      Membimbing khalayak kea rah kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi secara mandiri, serta
9.      Mengakui keterbatasan pengetahuan.
Sehingga seorang public speaker mampu menerapkan berbagai pengalaman dan peranan sekaligus terhadap khalayak yang dihadapi.

Jumat, 28 Desember 2012

PAMERAN KONASPI 7



Pameran Konaspi (konfrensi nasional pendidikan ) yang ke-7 berlangsung pada hari rabu,31 Oktober 2012 sampai hari sabtu, 3 November 2012. Pameran Konaspi yang ke-7 ini diadakan di Yogyakarta, tepatnya di Pendopo Amplaz dan Universitas Negeri Yogyakarta-lah yang bertugas sebagai tuan rumah dalam acara tersebut. Konaspi adalah acara pertemuan rutin yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTKI) Nasional. Acara ini diadakan setiap 4 tahun sekali di setiap universitas dengan tujuan untuk mengevaluasi kegiatan pendidikan yang berlangsung secara 5 tahun sebagai penentuan rumusan masalah untuk memperbaiki keadaan pendidikan.
Pameran Konaspi kali ini mengusung tema tentang pendidikan karakter yakni “Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045”. Tema ini sesuai dengan melihat keadaan bangsa Indonesia saat ini yang kualitas moral baiknya diambang krisis moral atau terjadinya degradasi moral. Hal ini diciptakan guna menciptakan generasi yang memiliki karakter mulia , bermartabat serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Acara konaspi 7 dihadiri oleh beberapa universitas diantaranya UNY (FIS, FE, FT, FIP, FMIPA, FIK, LPPM UNY, PSW UNY, dll), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Negeri Surabaya, Universitas Negeri Semarang, Universitaas Negeri Makasar, Universitas Pendidikan Ganesha, dll.
Setiap universitas dari berbagai fakultas dan lembaga di UNY menampilkan berbagai macam karya mahasiswa dan dosen. Di FBS misalnya dari hasil wawancara saya oleh salah satu dosen FBS, beliau menerangkan bahwa dalam pameran konaspi yang ke-7 ini FBS menampilkan dan menawarkan karya-karya seni berupa batik yang dibuat mahasiswa langsung dari Imogiri dan kerajinan yang tebuat dari kayu dan kawat-kawat yang sudah tidak terpakai menjadi motif cincin, topeng dan lain-lain. Bukan hanya itu FBS juga menawarkan pengunjung untuk membuat motif batik sendiri dengan disediakannya kain putih dan peralatan membatik, tujuan utama dari itu semua adalah agar dapat memperkenalkan karya kreatifitas mahasiswa yang mana hal tersebut akan dipasarkan sesuai dengan minat pemasaran global.
Dari FIS juga tak kalah menarik penampilannya di pameran konaspi 7 FIS mempersembahkan buku-buku dan jurnal karya mahasiswa dan dosen. Bukan hanya itu hasil yang mereka dapatkan dari penjualan buku dan jurnal meraka persembahkan untuk bakti sosial hal ini erat kaitannya dengan rasa solidaritas tinggi terhadap sesama manusia. Dalam acara ini FIS bertujuan untuk mahasiswa agar dapat menjadikan buku dan jurnal ini sebagai reverensi dan cakap dalam membuat inspirasi untuk membuat karya buku dan jurnal yang lebih bagus dari sebelumnya.
Lain halnya dengan FT, dari  hasil wawancara saya kepada saudari Gita jurusan tata busana 2010. Tujuan dari FT sendiri tentang diadakannya pameran ini adalah memperkenalkan produk kepada masyarakat yang telah berkunjung ke pameran konaspi 7 untuk memperkenalkan discovery dan invention karya mahasiswa FT UNY  agar masyarakat dapat mempermudah dalam memecahkan suatu urusan. Dari sinilah FT mempersembahkan karya-karya mahasiswanya yang belum pernah ada sebelumnya seperti alat bantu pembelajaran huruf brailler, game uloondo dan masih banyak lagi.
Dari Surabaya UNESA misalnya dalam pameran konaspi kali ini UNESA memperkenalkan dan menawarkan jurnal dan buku-buku karya mahasiswa dan dosen. Hal ini sama dengan apa yang di tampilkan oleh FIS UNY. Akan tetapi mereka mempunyai tujuan tersendiri dari hasil karya-karya mahasiswa dan dosen ini mereka mempersembahkan kepada mahasiswa agar mampu memahami lebih dalam tentang bidang kuliah yang ditekuni seperti adanya buku filsafat sosial dan pengembangan pendidikan karakter. Mereka dalam acara ini juga mampu memperkenalkan universitas mereka di Surabaya dari berkembangnya seperti apa dan keberadaannya sekarang seperti apa.
Beda halnya dengan Universitas Ganesha, Ganesha mempersembahkan produk mahasiswa berupa kerajinan dari batu seperti adanya batu giok untuk aksesoris seperti cincin, bros, anting dal lainnya. Bentuk dan warnanya sangat menarik juga tidak kalah penting dengan harganya karena harga yang ditawarkan cukup menguras kantong mahasiswa bahkan menguras kantong kaum elit, akan tetapi tujuan utamanya adalah untuk memperkenalkan kepada masyarakat bahwa dari tangan mahasiswa mereka dapat menghasilkan kerajinan yang kreatif, akan tetapi kerajinan ini belum merambah ke pasar global, mereka hanya menawarkannya ke pasar lokal karena bisa dibilang hasil kreatifitas itu merupakan hal yang baru bagi mereka.
Dari berbagai wawancara tiap universitas yang saya lakukan dalam pameran konaspi 7, saya dapat menyimpulkan bahwa perkembangan pemikiran manusia akan terus menghasilkan sesuatu jika ada kemauan dan usaha yang keras dari tiap individu dan kelompok, hal ini erat kaitannya dengan prespektif perkembangan dunia global yang mana membutuhkan pemikiran-pemikiran baru yang kreatif  dan inovatif. Tentang pamerannya sendiri “ pameran konaspi 7 “ dari sinilah tiap-tiap universitas Indonesia dapat memperkenalkan karya-karya mereka sebagai hasil dari kreativitas mereka.

Rabu, 26 Desember 2012

Keberadaan Suku Dayak di Indonesia

Permasalahan identitas etnis dan budaya akan selalu menjadi topik perdebatan yang tidak berkesudahan. Karena perbedaan etnis, budaya, dan agama seringkali menjadi sumber-sumber konflik yang hebat antara orang-orang Indonesia yang mengaku berbhinneka tunggal ika. Pada masa pemerintahan orde baru, konflik-konflik etnis dan keagamaan merupakan hal yang biasa dalam perpolitikan Indonesia.
Sejumlah pakar berpendapat bahwa kerusuhan yang melibatkan kelompok etnis dan agama, disebabkan oleh provokator yang didalangi oleh Soeharto, yang pada masa itu tengah berjaya dengan kekuasaannya. Konflik etnis, budaya, dan agama, merupakan alat yang dipakai untuk menutupi kebobrokan sistem pemerintahan pada masa orde baru.
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi misalnya, pada tahun 1999-2000 di Ambon (antara orang-orang Kristen dan Muslim), di Sambas (antara orang-orang Melayu, Dayak, dan Madura), dan sebagainya. Kerusuhan tersebut memperlihatkan adanya ketidakpedulian terhadap semboyan Bangsa Indonesia, yaitu bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan), merupakan salah satu suku di Indonesia yang sering terlibat konflik. Di awal 1997 dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan terjadi antara orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Menurut salah satu tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura. Melainkan antara orang Melayu dan Madura.
Walaupun ada fakta yang menyatakan hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media masa membesar-besarkan keterlibatan Dayak, karena orang-orang Melayu menggunakan simbol-simbol orang Dayak ketika melakukan kerusuhan. Di sisi lain, pemerintah orde baru memobilisasi isu SARA untuk mengendalikan masyarakat melalui bahasa dan etnisitas. Negara berusaha menyeragamkan perbedaan-perbedaan budaya demi kepentingan ‘pembangunan nasional’(misalnya demi mempromosikan pariwisata).
Sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto, tampaknya di berbagai daerah urutan prioritasnya sudah secara efektif dibalik. Sekarang, pemikiran-pemikiran tentang pembangunan  nasional dan modernisasi nasional telah digantikan dengan konflik-konflik berbasis etnis yang berkaitan dengan isu pembangunan yang tidak merata dan marjinalisasi masyarakat asli (adat).
            Dayak bukanlah sebuah realitas objektif yang kuno, melainkan sebuah konstruksi yang relatif modern. Istilah ‘Dayak’ secara kolektif menunjuk kepada orang-orang non-Muslim atau non-Melayu yang merupakan penduduk asli Kalimantan pada umumnya (lihat King, 1993). Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih diperdebatkan. Menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai.

Suku Dayak Sebagai Suku yang Termarjinalkan
Orang Dayak telah mengalami berbagai kerugian sejak zaman pra-kolonial. Situasi ini dapat dipahami hanya dengan mengacu pada sejarah daerah itu. Sebelum kemerdekaan Indonesia, terdapat banyak kerajaan di Kalimantan Timur, tetapi Kesultanan Kutai adalah yang tertua, berasal dari abad kelima belas (Magenda,1991). Sebelum masa penjajahan Belanda, wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai meliputi orang-orang Dayak di pedalaman.
Magenda menunjuk bahwa sebelumnya, pada akhir abad ke lima belas, ‘kesultanan itu sesungguhnya sudah menjadi federasi yang longgar yang terdiri dari banyak komunitas Dayak dengan seorang raja Melayu di puncak kekuasaannya’(1991:2). Namun, Kesultanan Kutai yang baru pada awal abad ke enam belas, ‘adalah sebuah kesultanan Melayu par excellence’, serupa dengan kesultanan-kesultanan Melayu lainnya di daerah-daerah pesisir Sumatra dan Kalimantan (Magenda. 1991:2)
Baik Magenda (1991) maupun Rousseau (1990) menulis bahwa orang-orang Kutai berusaha menguasai orang-orang Dayak tetapi mereka tidak dapat melakukan sepenuhnya, karena orang-orang Dayak bisa berpindah lebih jauh ke pedalaman. Datangnya orang-orang Banjar membantu kesultanan itu dalam memperluas kekuasaan mereka terhadap orang-orang Dayak dengan mendirikan kota-kota kecil di sepanjang sungai Mahakam. Mulai dari Samarinda hingga ke Long Iram.
Orang-prang Banjar juga masuk ke dalam birokrasi kolonial. Mereka membangun pemukiman bernama Samarinda yang dikemudian hari menjadi rumah bagi Residen Belanda menyusul konsolidasi kekuasaan Belanda atas Kesultanan Kutai. Banyak orang Banjar diperkerjakan di tingkat-tingkat rendahan di lingkungan pemerintahan kolonial Belanda setelah Samarinda dibangun menjadi sebuah pusat pemerintahan Belanda.
Orang-orang Banjar Samarinda lama-kelamaan menjadi elite birokrat terpelajar di Kalimantan Timur. Orang-orang Banjar yang pindah ke Samarinda kebanyakan adalah orang-orang dari kelas menengah dan atas, yang berasal dari Banjarmasin. Sejumlah besar orang Banjar tetap aktif dalam aktifitas perdagangan, dan akhirnya mengungguli orang-orang Bugis sebagai kelompok dagang yang paling dominan di daerah itu.
Djuweng (1996:6) mengatakan bahwa sebelum kemerdekaan, kata ‘Dayak’ adalah sebuah istilah yang disalahgunakan. Interpretasi orang tentang Dayak adalah kotor, pembohong, liar, atau terbelakang (1996:6). Pendidikan pada zaman penjajahan, yang dilaksanakan dan diawasi oleh kesultanan-kesultanan, tidak merangkul orang-orang Dayak.
Jika orang Dayak ingin melanjutkan pendidikannya setelah tahun ketiga, mereka harus masuk Islam, meninggalkan identitas kultural, sosial dan agamanya. Selain itu, jika mereka bekerja pada pemerintahan kolonial dan ingin dipromosikan, maka mereka harus terlebih dahulu menanggalkan idenitas Dayak mereka (lihat Djuweng, 1996:6-7).
Menurut Djuweng (1996:7) citra-citra negatif yang diasosiasikan dengan orang-orang Dayak masih berlaku hingga sekarang. Di dalam wacana-wacana pembangunan dan modenisasi, orang-orang Dayak yang hidup sebagai peladang-peladang berpindah yang terasing masih dikategorikan sebagai suku-suku nomaden yang terbelakang. Inilah landasan argumen yang mengatakan bahwa orang Dayak harus dimukimkan, pola-pola pertanian mereka diubah, dan kebudayaan mereka dilenyapkan.
Dicerabutnya orang-orang Dayak dari kepemilikan tanahnya atas nama pembangunan, modernisasi, dan pertumbuhan ekonomi dilegitimasi oleh stereotip negatif tentang keterbelakangan dan keprimitifan itu (Djuweng 1996:7). Kebudayaan-kebudayaan Dayak telah sangat menderita karena proyek ‘pemberadaban’ yang dilancarkan oleh pemerintaj kolonial maupun pemerintah Indonesia yang menerapkan program-program pembangunan.

Sumber
Maunati, Yekti.2004. Identitas Dayak. Yogyakarta: LKIS
Rangkuti, Shofia.2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Teori dan Konsep. Jakarta: Dian R.

Komunikasi Interpersonal


Manusia adalah makhluk social, yang tidak dapat hidup sendiri melainkan menbutuhkan bantuan orang lain. Sebagai manusia yang tidak dapat hidup sendiri pastilah manusia memerlukan sebuah keinginan untuk berbicara, tukar menukar gagasan, mengirim dan menerima informasi, dan bekerjasama dengan orang lain. Hal ini menyebabkan adanya sebuah komunikasi antar individu yang disebut dengan komunikasi interpersoanal.
            Menurut Agus M. Hardjana (2003:85), komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antardua atau beberapa orang dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menanggapi secara langsung pula. Sehingga dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain untuk menyampaikan pesan dan menerima pesan (adanya umpan balik) secara langsung maupun tidak langsung.

Ciri-ciri komunikasi interpersonal
1.      Arus pesan dua arah
2.      Suasana informal
3.      Umpan balik
4.      Peserta komunikasi berada dalam jarak dekat dan
5.      Peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara langsung.

Fungsi komunikasi interpersonal
1.      Membentuk dan menjaga hubungan baik antarindividu
2.      Menyampaikan pengetahuan dan informasi
3.      Mengubah sikap dan perilaku
4.      Memecahkan masalah hubungan antar manusia
5.      Citra diri menjadi lebih baik
6.      Jalan menuju kesuksesan.

Hubungan antara komunikasi interpersonal dengan perubahan sikap
Sikap merupakan gejala psikologis demikian halnya dengan perubahan sikap, pastilah sebagai sebagian gejala psikologis yang secara wajar terjadi dalam kehidupan manusia. Hubungan antara komunikasi interpersonal terhadap perubahan sikap pada hakikatnya kita berbicara tentang gejala psikologis, sehingga perubahan itu menjadi fenomena psikologis yang terjadi dalam dua arah. Diantaranya adalah
1.    Arah pertama bersifat incongruent, merupakan perubahan sikap menuju kearah yang bertentangan dengan sikap semula,
2.    Arah yang bersifat congruent, merupakan perubahan sikap yang sejalan atau tidak bertentangan dengan sikap semula.

Sumber
Aw, Suranto. Komunasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.2011
Purwanto Djoko. Komunasi Bisnis. Jakarta: Erlangga. 2006
. 

Hubungan Industri Rumah Tangga dengan Pengentasan Kemiskinan



Indonesia merupakan negara yang berkembang, penduduknya menempati urutan ke-4 di dunia. Keadaan ini menimbulkan pengangguran dan kemiskinan namun masalah kependudukan yang padat ini tidak diimbangi dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Hal ini menyebabkan banyak tenaga kerja yang tidak memperoleh pekerjaan.. Penduduk yang padat tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Sehingga menyebabkan banyak tenaga kerja yang tidak tersaring. Pengangguran terjadi di mana-mana, akhirnya timbul masalah sosial yang lain yaitu kemiskinan.
Secara konseptual perdebataan tentang persoalan kemiskinan yang muncul selama ini dihadapkan dua sisi yang saling bertabrakan, yaitu mendudukan kemiskinan dalam aspek ekonomi semata atau memposisikan kemiskinan sebagai isu sosial. Jika kemiskinan dianggap sebagai masalah ekonomi saja, maka kemiskinan biasanya disederhanakan dalam bentuk berapa pendapatan perkapita, namun jika kemiskinan dianggap sebagai isu sosial maka memandang kemiskinan merupakan keterbatasan individu untuk terlibat dalam partisipasi pembangunan, baik akibat dari ketidakmampuaan ketrampilan, pendidikan atau akses untuk mendapatkan penghasilan sehingga individu tersebut tidak mampu mencapai kesejahteraan.
Seperti yang diketahui selama ini, persoalan kemiskinan telah menjadi sorotan utama pemerintah untuk segera dientaskan, namun program pengentasan yang telah dicanangkan pemerintaha tidak menunjukan hasil yang maksimal. Adapun contoh program pengentasan kemiskinan itu antara lain ,yaitu melalui bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi dari pengurangan subsidi BBM dan beras untuk masyarakat miskin (Raskin) maupun bantuan yang berupa asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin serta bantuan operasional sekolah (BOS) yang diharapkan mampu mengurangi jumlah anak putus sekolah dari penduduk miskin dan meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat yang berjalan tidak sesui dengan harapan. Banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya sehingga tujuan dari program tersebut tidak tercapai.
Secara umum usaha kecil yang terdapat di pedesaan adalah industri kecil dan industri rumah tangga. Berdasarkan definisi atau klasifikasi Biro Pusat Statistik (BPS), perbedaan antara industri kecil dan industri rumah tangga adalah pada jumlah pekerja. Industri rumah tangga adalah unit usaha (establishment) dengan jumlah pekerja 1 hingga 4 orang, yang kebanyakan adalah anggota-anggota keluarga (family workers) yang tidak dibayar oleh pemilik usaha itu sendiri. Kegiatan industri tanpa tenaga kerja, yang disebut self employment, juga termasuk dalam kelompok industri rumah tangga. Sedangkan, indutri kecil adalah unit usaha dengan jumlah pekerja antara 5 hingga 9 orang yang sebagian besar adalah pekerja yang dibayar (wage labourers). Perbedaan lainnya antara industri kecil dan industri rumah tangga adalah terutama pada aspek-aspek seperti sistem manajemen, pola organisasi usaha, termasuk pembagian kerja (labour division), jenis teknologi yang digunakan atau metode produksi yang diterapkan dan jenis produksi yang dibuat. Pada umumnya industri rumah tangga sangat tradisional atau primitif dalam aspek-aspek tersebut.
Mengetahui karakteristik atau sifat utama dari industri kecil dan indutri rumah tangga di pedesaan, yang sangat padat karya, pemerintah dan kalangan masyarakat beranggapan bahwa pengembangan industri-industri tersebut sangat urgen diupayakan terus agar menjadi suatu kelompok industri yang kuat dan sehat. Usaha untuk mengembangkan industri kecil dan industri rumah tangga di pedesaan merupakan langkah yang tepat sebagai salah satu  kebijakan pemerintah untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi dan sosial yang dihadapi Indonesia pada saat ini.

Peran industri rumah tangga dalam pengentasan kemiskinan
beberapa peran pengembangan industri Rumah tangga bagi kemajuan perekonomian serta pengentasan kemiskinan di Indonesia :
  1. Melatih skill dan keterampilan sehingga membuat rakyat lebih produktif dalam menjalankan usahanya untuk menunjang perekonomiannya
  2. Sifatnya yang padat karya akan menyaring banyak tenaga kerja sehingga pengangguran dapat berkurang dengan kata lain menciptakan lapangan kerja baru
  3. Menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi baik di dalam negeri maupun di luar negeri
  4. Menciptakan masyarakat yang mandiri berpengahsilan tinggi yang mampu meningkatkan taraf hidupnya
  5. Menciptakan kestabilan ekonomi mulai dari lingkup daerah hingga negara sehingga kondisi perekonomian juga meningkat


Sumber
Dewantara, Alam Setya. dkk. 1995. Kemiskinan Dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditia Media.
Munir,rozy.tjiptoherijanto,prijono. 1981. Penduduk dan Pembangunan Ekonomi.Jakarta:Bina Aksara
Triyanto Widodo,Suseno. 1990. Indikator Ekonomi dasar-dasar perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Prayitno hadi (penyunting).1987.Pengembangan Ekonomi Pedesaan. Yogyakarta; BPFE