Rabu, 26 Desember 2012

Keberadaan Suku Dayak di Indonesia

Permasalahan identitas etnis dan budaya akan selalu menjadi topik perdebatan yang tidak berkesudahan. Karena perbedaan etnis, budaya, dan agama seringkali menjadi sumber-sumber konflik yang hebat antara orang-orang Indonesia yang mengaku berbhinneka tunggal ika. Pada masa pemerintahan orde baru, konflik-konflik etnis dan keagamaan merupakan hal yang biasa dalam perpolitikan Indonesia.
Sejumlah pakar berpendapat bahwa kerusuhan yang melibatkan kelompok etnis dan agama, disebabkan oleh provokator yang didalangi oleh Soeharto, yang pada masa itu tengah berjaya dengan kekuasaannya. Konflik etnis, budaya, dan agama, merupakan alat yang dipakai untuk menutupi kebobrokan sistem pemerintahan pada masa orde baru.
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi misalnya, pada tahun 1999-2000 di Ambon (antara orang-orang Kristen dan Muslim), di Sambas (antara orang-orang Melayu, Dayak, dan Madura), dan sebagainya. Kerusuhan tersebut memperlihatkan adanya ketidakpedulian terhadap semboyan Bangsa Indonesia, yaitu bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan), merupakan salah satu suku di Indonesia yang sering terlibat konflik. Di awal 1997 dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan terjadi antara orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Menurut salah satu tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura. Melainkan antara orang Melayu dan Madura.
Walaupun ada fakta yang menyatakan hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media masa membesar-besarkan keterlibatan Dayak, karena orang-orang Melayu menggunakan simbol-simbol orang Dayak ketika melakukan kerusuhan. Di sisi lain, pemerintah orde baru memobilisasi isu SARA untuk mengendalikan masyarakat melalui bahasa dan etnisitas. Negara berusaha menyeragamkan perbedaan-perbedaan budaya demi kepentingan ‘pembangunan nasional’(misalnya demi mempromosikan pariwisata).
Sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto, tampaknya di berbagai daerah urutan prioritasnya sudah secara efektif dibalik. Sekarang, pemikiran-pemikiran tentang pembangunan  nasional dan modernisasi nasional telah digantikan dengan konflik-konflik berbasis etnis yang berkaitan dengan isu pembangunan yang tidak merata dan marjinalisasi masyarakat asli (adat).
            Dayak bukanlah sebuah realitas objektif yang kuno, melainkan sebuah konstruksi yang relatif modern. Istilah ‘Dayak’ secara kolektif menunjuk kepada orang-orang non-Muslim atau non-Melayu yang merupakan penduduk asli Kalimantan pada umumnya (lihat King, 1993). Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih diperdebatkan. Menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai.

Suku Dayak Sebagai Suku yang Termarjinalkan
Orang Dayak telah mengalami berbagai kerugian sejak zaman pra-kolonial. Situasi ini dapat dipahami hanya dengan mengacu pada sejarah daerah itu. Sebelum kemerdekaan Indonesia, terdapat banyak kerajaan di Kalimantan Timur, tetapi Kesultanan Kutai adalah yang tertua, berasal dari abad kelima belas (Magenda,1991). Sebelum masa penjajahan Belanda, wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai meliputi orang-orang Dayak di pedalaman.
Magenda menunjuk bahwa sebelumnya, pada akhir abad ke lima belas, ‘kesultanan itu sesungguhnya sudah menjadi federasi yang longgar yang terdiri dari banyak komunitas Dayak dengan seorang raja Melayu di puncak kekuasaannya’(1991:2). Namun, Kesultanan Kutai yang baru pada awal abad ke enam belas, ‘adalah sebuah kesultanan Melayu par excellence’, serupa dengan kesultanan-kesultanan Melayu lainnya di daerah-daerah pesisir Sumatra dan Kalimantan (Magenda. 1991:2)
Baik Magenda (1991) maupun Rousseau (1990) menulis bahwa orang-orang Kutai berusaha menguasai orang-orang Dayak tetapi mereka tidak dapat melakukan sepenuhnya, karena orang-orang Dayak bisa berpindah lebih jauh ke pedalaman. Datangnya orang-orang Banjar membantu kesultanan itu dalam memperluas kekuasaan mereka terhadap orang-orang Dayak dengan mendirikan kota-kota kecil di sepanjang sungai Mahakam. Mulai dari Samarinda hingga ke Long Iram.
Orang-prang Banjar juga masuk ke dalam birokrasi kolonial. Mereka membangun pemukiman bernama Samarinda yang dikemudian hari menjadi rumah bagi Residen Belanda menyusul konsolidasi kekuasaan Belanda atas Kesultanan Kutai. Banyak orang Banjar diperkerjakan di tingkat-tingkat rendahan di lingkungan pemerintahan kolonial Belanda setelah Samarinda dibangun menjadi sebuah pusat pemerintahan Belanda.
Orang-orang Banjar Samarinda lama-kelamaan menjadi elite birokrat terpelajar di Kalimantan Timur. Orang-orang Banjar yang pindah ke Samarinda kebanyakan adalah orang-orang dari kelas menengah dan atas, yang berasal dari Banjarmasin. Sejumlah besar orang Banjar tetap aktif dalam aktifitas perdagangan, dan akhirnya mengungguli orang-orang Bugis sebagai kelompok dagang yang paling dominan di daerah itu.
Djuweng (1996:6) mengatakan bahwa sebelum kemerdekaan, kata ‘Dayak’ adalah sebuah istilah yang disalahgunakan. Interpretasi orang tentang Dayak adalah kotor, pembohong, liar, atau terbelakang (1996:6). Pendidikan pada zaman penjajahan, yang dilaksanakan dan diawasi oleh kesultanan-kesultanan, tidak merangkul orang-orang Dayak.
Jika orang Dayak ingin melanjutkan pendidikannya setelah tahun ketiga, mereka harus masuk Islam, meninggalkan identitas kultural, sosial dan agamanya. Selain itu, jika mereka bekerja pada pemerintahan kolonial dan ingin dipromosikan, maka mereka harus terlebih dahulu menanggalkan idenitas Dayak mereka (lihat Djuweng, 1996:6-7).
Menurut Djuweng (1996:7) citra-citra negatif yang diasosiasikan dengan orang-orang Dayak masih berlaku hingga sekarang. Di dalam wacana-wacana pembangunan dan modenisasi, orang-orang Dayak yang hidup sebagai peladang-peladang berpindah yang terasing masih dikategorikan sebagai suku-suku nomaden yang terbelakang. Inilah landasan argumen yang mengatakan bahwa orang Dayak harus dimukimkan, pola-pola pertanian mereka diubah, dan kebudayaan mereka dilenyapkan.
Dicerabutnya orang-orang Dayak dari kepemilikan tanahnya atas nama pembangunan, modernisasi, dan pertumbuhan ekonomi dilegitimasi oleh stereotip negatif tentang keterbelakangan dan keprimitifan itu (Djuweng 1996:7). Kebudayaan-kebudayaan Dayak telah sangat menderita karena proyek ‘pemberadaban’ yang dilancarkan oleh pemerintaj kolonial maupun pemerintah Indonesia yang menerapkan program-program pembangunan.

Sumber
Maunati, Yekti.2004. Identitas Dayak. Yogyakarta: LKIS
Rangkuti, Shofia.2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Teori dan Konsep. Jakarta: Dian R.

Komunikasi Interpersonal


Manusia adalah makhluk social, yang tidak dapat hidup sendiri melainkan menbutuhkan bantuan orang lain. Sebagai manusia yang tidak dapat hidup sendiri pastilah manusia memerlukan sebuah keinginan untuk berbicara, tukar menukar gagasan, mengirim dan menerima informasi, dan bekerjasama dengan orang lain. Hal ini menyebabkan adanya sebuah komunikasi antar individu yang disebut dengan komunikasi interpersoanal.
            Menurut Agus M. Hardjana (2003:85), komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antardua atau beberapa orang dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menanggapi secara langsung pula. Sehingga dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain untuk menyampaikan pesan dan menerima pesan (adanya umpan balik) secara langsung maupun tidak langsung.

Ciri-ciri komunikasi interpersonal
1.      Arus pesan dua arah
2.      Suasana informal
3.      Umpan balik
4.      Peserta komunikasi berada dalam jarak dekat dan
5.      Peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara langsung.

Fungsi komunikasi interpersonal
1.      Membentuk dan menjaga hubungan baik antarindividu
2.      Menyampaikan pengetahuan dan informasi
3.      Mengubah sikap dan perilaku
4.      Memecahkan masalah hubungan antar manusia
5.      Citra diri menjadi lebih baik
6.      Jalan menuju kesuksesan.

Hubungan antara komunikasi interpersonal dengan perubahan sikap
Sikap merupakan gejala psikologis demikian halnya dengan perubahan sikap, pastilah sebagai sebagian gejala psikologis yang secara wajar terjadi dalam kehidupan manusia. Hubungan antara komunikasi interpersonal terhadap perubahan sikap pada hakikatnya kita berbicara tentang gejala psikologis, sehingga perubahan itu menjadi fenomena psikologis yang terjadi dalam dua arah. Diantaranya adalah
1.    Arah pertama bersifat incongruent, merupakan perubahan sikap menuju kearah yang bertentangan dengan sikap semula,
2.    Arah yang bersifat congruent, merupakan perubahan sikap yang sejalan atau tidak bertentangan dengan sikap semula.

Sumber
Aw, Suranto. Komunasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.2011
Purwanto Djoko. Komunasi Bisnis. Jakarta: Erlangga. 2006
. 

Hubungan Industri Rumah Tangga dengan Pengentasan Kemiskinan



Indonesia merupakan negara yang berkembang, penduduknya menempati urutan ke-4 di dunia. Keadaan ini menimbulkan pengangguran dan kemiskinan namun masalah kependudukan yang padat ini tidak diimbangi dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Hal ini menyebabkan banyak tenaga kerja yang tidak memperoleh pekerjaan.. Penduduk yang padat tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Sehingga menyebabkan banyak tenaga kerja yang tidak tersaring. Pengangguran terjadi di mana-mana, akhirnya timbul masalah sosial yang lain yaitu kemiskinan.
Secara konseptual perdebataan tentang persoalan kemiskinan yang muncul selama ini dihadapkan dua sisi yang saling bertabrakan, yaitu mendudukan kemiskinan dalam aspek ekonomi semata atau memposisikan kemiskinan sebagai isu sosial. Jika kemiskinan dianggap sebagai masalah ekonomi saja, maka kemiskinan biasanya disederhanakan dalam bentuk berapa pendapatan perkapita, namun jika kemiskinan dianggap sebagai isu sosial maka memandang kemiskinan merupakan keterbatasan individu untuk terlibat dalam partisipasi pembangunan, baik akibat dari ketidakmampuaan ketrampilan, pendidikan atau akses untuk mendapatkan penghasilan sehingga individu tersebut tidak mampu mencapai kesejahteraan.
Seperti yang diketahui selama ini, persoalan kemiskinan telah menjadi sorotan utama pemerintah untuk segera dientaskan, namun program pengentasan yang telah dicanangkan pemerintaha tidak menunjukan hasil yang maksimal. Adapun contoh program pengentasan kemiskinan itu antara lain ,yaitu melalui bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi dari pengurangan subsidi BBM dan beras untuk masyarakat miskin (Raskin) maupun bantuan yang berupa asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin serta bantuan operasional sekolah (BOS) yang diharapkan mampu mengurangi jumlah anak putus sekolah dari penduduk miskin dan meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat yang berjalan tidak sesui dengan harapan. Banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya sehingga tujuan dari program tersebut tidak tercapai.
Secara umum usaha kecil yang terdapat di pedesaan adalah industri kecil dan industri rumah tangga. Berdasarkan definisi atau klasifikasi Biro Pusat Statistik (BPS), perbedaan antara industri kecil dan industri rumah tangga adalah pada jumlah pekerja. Industri rumah tangga adalah unit usaha (establishment) dengan jumlah pekerja 1 hingga 4 orang, yang kebanyakan adalah anggota-anggota keluarga (family workers) yang tidak dibayar oleh pemilik usaha itu sendiri. Kegiatan industri tanpa tenaga kerja, yang disebut self employment, juga termasuk dalam kelompok industri rumah tangga. Sedangkan, indutri kecil adalah unit usaha dengan jumlah pekerja antara 5 hingga 9 orang yang sebagian besar adalah pekerja yang dibayar (wage labourers). Perbedaan lainnya antara industri kecil dan industri rumah tangga adalah terutama pada aspek-aspek seperti sistem manajemen, pola organisasi usaha, termasuk pembagian kerja (labour division), jenis teknologi yang digunakan atau metode produksi yang diterapkan dan jenis produksi yang dibuat. Pada umumnya industri rumah tangga sangat tradisional atau primitif dalam aspek-aspek tersebut.
Mengetahui karakteristik atau sifat utama dari industri kecil dan indutri rumah tangga di pedesaan, yang sangat padat karya, pemerintah dan kalangan masyarakat beranggapan bahwa pengembangan industri-industri tersebut sangat urgen diupayakan terus agar menjadi suatu kelompok industri yang kuat dan sehat. Usaha untuk mengembangkan industri kecil dan industri rumah tangga di pedesaan merupakan langkah yang tepat sebagai salah satu  kebijakan pemerintah untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi dan sosial yang dihadapi Indonesia pada saat ini.

Peran industri rumah tangga dalam pengentasan kemiskinan
beberapa peran pengembangan industri Rumah tangga bagi kemajuan perekonomian serta pengentasan kemiskinan di Indonesia :
  1. Melatih skill dan keterampilan sehingga membuat rakyat lebih produktif dalam menjalankan usahanya untuk menunjang perekonomiannya
  2. Sifatnya yang padat karya akan menyaring banyak tenaga kerja sehingga pengangguran dapat berkurang dengan kata lain menciptakan lapangan kerja baru
  3. Menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi baik di dalam negeri maupun di luar negeri
  4. Menciptakan masyarakat yang mandiri berpengahsilan tinggi yang mampu meningkatkan taraf hidupnya
  5. Menciptakan kestabilan ekonomi mulai dari lingkup daerah hingga negara sehingga kondisi perekonomian juga meningkat


Sumber
Dewantara, Alam Setya. dkk. 1995. Kemiskinan Dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditia Media.
Munir,rozy.tjiptoherijanto,prijono. 1981. Penduduk dan Pembangunan Ekonomi.Jakarta:Bina Aksara
Triyanto Widodo,Suseno. 1990. Indikator Ekonomi dasar-dasar perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Prayitno hadi (penyunting).1987.Pengembangan Ekonomi Pedesaan. Yogyakarta; BPFE

Jumat, 30 November 2012

Negara yang Kuat dilihat dari Aspek Ekonomi


Sebuah Negara yang kuat akan mempunyai beberapa ukuran-ukuran dimana ukuran-ukuran tersebut menjadikan sebuah Negara itu menjadi lebih baik dari Negara-negara yang lain. Setiap bangsa mempunyai ukuran-ukuran yang mejadi pedoman pelaksanaan langkah-langkah pembangunannya, meskipun ukuran-ukuran itu kadang-kadang masih bisa berubah Karena teus menerus memerlukan penyempurnaan. Kita misalnya telah sepakat bahwa pembangunan nasional bangsa Indonesia adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan manusia yang utuh dan pembangunan seluruh rakyat biasanya diartikan bahwa bidang-bidang kebutuhan manusia yang hendak dibangun itu harus seimbang materiil dan spiritual. Pembangunan seluruh rakyat diartikan sebagai bembangunan yang merata, atau pembangunan yang adil.
Akhirnya yang tidak kalah pentingnya juga adalah, apakah yang penting pencapaian tujuannya,  yaitu masyarakat yang adil dan makmur serta suatu Negara yang kuat dan bagaimana masalah prioritas dikaitkan dengan masalah waktu yaitu kapan kita akan mencapai Negara yang adil makmur serta kuat?.
      Negara kuat adalah negara yang integrasinya kuat, pertahanannya kuat, mampu mengatur urusan negaranya dengan baik serta mampu berinteraksi baik kepada setiap negara. Seperti halnya negara juga mempunyai tugas pokok diantaranya adalah:
a. Tugas pokok negara:
1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial (saling bertentangan) agar tidak berkembang menjadi antagonisme yang berbahaya.
2. Mengorganisasi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan seluruh masyarakat. Prof.Mr. L.J. van Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht (Pengantar Ilmu Hukum Belanda) menyatakan bahwa:
1. Istilah negara dalam arti “penguasa”: untuk menyatakan orang atau orang-orang yang melaksanakan kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah.
2.  Istilah negara dalam arti “persekutuan rakyat”: untuk menyatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu wilayah di bawah kekuasaan tertinggi menurut kaidah-kaidah hukum yang sama.
3.  Negara juga mengandung arti “wilayah tertentu”, dalam hal ini istilah negara digunakan untuk menyatakan suatu wilayah yang di dalamnya diam sekelompok masyarakat/ rakyat/ bangsa di bawah suatu kekuasaan tertinggi.
4. Negara dapat berarti juga “kas negara/ ficus”: untuk menyatakan bahwa harta yang dipegang penguasa adalah demi kepentingan umum (misalnya dalam istilah: domain negara, pendapatan negara, etc.). Herman Finer dalam bukunya yang berjudul The Theory and Practice of Modern Government.  Dalam Teori Kelas (Golongan) diajarkan oleh Karl Marx (1818-1883), Frederick Engels (1820-1895), V.I. Lenin (1870-1924). 
          Teori ini menganggap negara sebagai alat dari suatu golongan atau kelas ekonomi kuat yang menindas golongan ekonomi lemah. Maka Karl Marx menganjurkan revolusi kaum buruh untuk merebut kekuasaan negara dari kaum kapitalis dan balas menindas mereka. Baginya tiada tempat dalam negara untuk kepentingan pribadi. Teori ini mendasari komunisme yang dianut dalam bentuk diktatur proletariat.
Contoh Negara yang perekonomiannya kuat
Jerman tergolong negara industri paling berprestasi dan paling maju perkembangannya, dan merupakan perekonomian nasional terbesar keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Jepang dan Cina. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 82 juta jiwa, Jerman merupakan pula pasaran terbesar di dalam Uni Eropa (UE). Perekonomian nasional Jerman terpusatkan pada barang dan jasa yang diproduksi oleh industri. Terutama hasil produksi industri konstruksi mesin dan industri otomotif serta produk-produk kimia dari Jerman dihargai baik di dunia internasional. Kurang lebih setiap Ero keempat diperoleh dalam sektor ekspor – dan lebih dari setiap tempat kerja kelima tergantung secara langsung atau tidak langsung dari perdagangan luar negeri. Dengan volume ekspor sebesar 1.121 miliar dolar AS pada tahun 2009, sebanding dengan sepertiga dari penghasilan nasional bruto, Jerman adalah negara pengekspor barang terbesar kedua di dunia sesudah Cina (1.202 miliar dolar AS), setelah dari tahun 2003 hingga 2008 enam kali berturut-turut Jerman mendapat sebutan "juara dunia ekspor". Andil Jerman dalam seluruh perdagangan global mencapai sekitar sembilan persen.
Karena orientasi Jerman yang tinggi kepada ekspor, keterpautannya dengan perekonomian dunia sangat erat, – hal yang membedakannya dengan kebanyakan negara lain – dan Jerman pun berkepentingan akan pasaran terbuka. Mitra-mitra perdagangan terpenting ialah Perancis, Belanda, Amerika Serikat dan Inggris. Pada tahun 2009 diekspor barang senilai 82 miliar Ero ke Perancis, senilai 54 miliar Ero ke AS dan ke Belanda, dan senilai 53 miliar Ero ke Inggris. Setelah Uni Eropa diperluas ke arah timur (2004 dan 2007), di samping perdagangan dengan negara anggota UE "lama", dapat dicatat peningkatan dalam volume perdagangan dengan negara-negara anggota UE di Eropa Timur. Sepuluh persen lebih dari ekspor total dilakukan ke negara-negara tersebut.

Ekspor Jerman ke negara Uni Eropa mencapai 63 persen dari volume ekspor seluruhnya. Yang meningkat terus artinya juga ialah hubungan dagang dan ekonomi dengan negara-negara Asia. Sementara ini Asia telah menjadi pasaran terpenting kedua untuk penjualan barang produksi Jerman. Pada tahun 2009, 14 persen dari ekspor Jerman ditujukan ke kawasan tersebut. Dalam hubungan dagang itu Cina adalah partner terpenting. Di samping itu sejak tahun 1999 Jerman juga berperan sebagai investor Eropa terbesar bagi Cina. Sekitar 2.500 perusahaan Jerman berkegiatan di negara itu sebagai investor.
Di Jerman berlaku sistem Ekonomi Pasaran Berorientasi Sosial. Artinya: Negara menjamin kebebasan bertindak di bidang ekonomi, akan tetapi berusaha menyediakan sarana penyeimbangan sosial. Berkat konsep itu yang dimasyarakatkan pada masa pascaperang oleh menteri perekonomian saat itu, Ludwig Erhard, Jerman menikmati keadaan tenteram di bidang sosial, bahkan pada fase timbulnya kesulitan ekonomi. Suasana tenteram itu tercermin dalam kelangkaan aksi mogok. Kemitraan sosial antara serikat kerja dan organisasi pemberi kerja telah ditetapkan oleh perangkat hukum tenaga kerja kolektif yang melembagakan proses penyelesaian konflik. Undang-Undang Dasar menjamin otonomi penetapan tarif imbalan kerja yang memberikan hak kepada pemberi kerja dan serikat kerja untuk menyepakati persyaratan kerja dalam perjanjian tarif yang menjadi tanggung jawab kedua pihak itu sendiri.
Sama dengan negara-negara industri lain, sejak tahun 2008 Jerman terkena krisis ekonomi dan pasar keuangan yang juga melanda perbankan dan yang dicetuskan oleh spekulasi pada pasaran barang tak bergerak di Amerika Serikat. Jerman dilanda oleh krisis itu di tengah fase pertumbuhan yang kuat. Sebagai tanggapan efisien terhadap krisis sistemis sektor keuangan dan demi stabilisasi keadaan pada pasaran uang, pada musim dingin 2008/2009 Pemerintah Federal Jerman menyiapkan dua paket penyelamatan berisi miliaran Ero untuk industri perbankan. Tindakan serupa diambil juga oleh negara lain (Amerika Serikat, Perancis, Inggris). Di samping itu pemerintah di Berlin menyediakan dana penggerakan konyungtur dalam dua paket untuk industri.
Masalah yang akan di bahas adalah suatu masalah yang sebetulnya memiliki banyak aspek, cabang, dan segi. Ekonomi atau perekonomian adalah sistem yang menggambarkan peri kehidupan manusia sehari-hari , yang menyangkut usahanya untuk memenuhi kebutuhan terutama yang berhubungan dengan masalah pemanfaatan barang-barang material.
Suatu perekonomian Negara dikatakan baik bila ketahanan ekonomi suatu Negara tersebut mencapai stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis serta mampu menciptakan kemandirian dengan daya saing tinggi dan muaranya untuk kemakmuran rakyat yang adil dan merata.
        Jika dibandingkan antara perekonomian Jerman dengan perekonomian Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat kuat, dimana perekonomian jerman mencappai tahap yang sangat maju sedangkan perekonomian Indonesia mencapai tahap perekonomian yang tertinggal dari Negara-negara yang maju meskipun sumber daya alam yang ada di Indonesia sangat melimpah. Hal ini menyebabkan perekonomian Indonesia stabilitas negaranya belum mencapai kemakmuran, karena pada hakekatnya Negara Indonesia kurang dapat menciptakan peralatan-peralatan yang dibutuhkan guna memproduksi suatu barang pemuas kebutuhan suatu Negara. 
          Negara Indonesia kurang mampu membentengi daya tahan ekonomi nasional dari guncangan ekonomi-ekonomi Indonesia yang harus dihindari semestinya Negara Indonesia mampu menjadi Negara yang kuat untuk membentengi ekonomi nasional sehingga ekonomi nasionalnya menjadi tangguhdalam hal ini Indonesia sering menonjolkan perencanaan dan reorganisasi ekonomi tetapi pada kenyataannya semakin sulit menemukan pemecahannya karena belum berhasil merrubah sifai-sifat perekonomian yang kapitalistik-dualistik mengakibatkan kecenderungan kearah sentralisme. 
               Jika Negara Indonesia ingin mencapai tahap perekonomian yang tinggi sehingga Negara-nya kuat maka diperluaan perasaan nasionalisme yang kuat yang menjiwai semua pelaku ekonomi. Konsep nasionalisme mempunyai kaitan yang sangat erat dengan konsep ketahann nasional yang sudah lama dikembangkan sebagaimana diketahui bahwa ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan bangsa untuk dapat menjamin kelangasungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan ngara dalam nenuju perekopnomian yang tangguh, hal ini membutuhkan perkembangan kekuatan-kekuatan produktif dan bukanya memproduksi langsung barang-barang atau nilai yang laku dijual ke pasar. Jadi yang penting ialah productive force, bukan exchangeable values.
           Kalau konsep ini diterima, maka tujuan memaksimumkan prodak nasional atau pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya tanpa menghiraukan pemerataan adalah tidak sesuai dengan konsep ketahanan nasional.Sementara itu dalam kancah percaturan perekonomian dunia, kita harus mampu scara eskplisit memprioritaskan penyatuan ekonomi nasional dan bukan untuk integrasi ekonomi nasional kedalam ekonomi internasional, tetapi yang dengan akibat berkurangnya ketahanan ekonomi dalam jangka panjang. Jadi kalau harus memilih antara integrasi pada ekonomi internasional atau ekonomi nasional, maka kita memilih yang ekonomi nasional. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perkembangan suatu Negara agar negaranya kuat dalam bidang perekonomiaan adalah terciptanya ketahanan ekonomi dengan upaya pembinaan sebagai berikut:
1.   system ekonomi diarahkan untuk kemakmuran rakyat melalui ekonomi kerakyatan unuk menjamin kelangsungan hidup bangsa.
2.   ekonomi kerakyatan hrus menghindari free fight federalism yang menguntungkan pelaku ekonomi kuat, system etatism dimana Negara aparatur ekonomi Negara bersifat dominan.
3.   struktur ekonomi dimantpkan secara seimbang.
4.   pembangunan ekonomi didasarkan factor kekeluargaan.
5.   pemerataan pembangunan ekonomi.
6.   serta kemampuan dalam bersaingnya suatu perekonomian dapat dipertahankan.

Sumber : Sunarso, dkk. 2008. pendidikan kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press.
Mubyarto. 1993. ekonomi pancasila. Jakarta: LP3ES.
Mubyarto. 1994. system dan moral ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Rabu, 28 November 2012

EMILE DURKHEIM


A.    PROFIL DAN RIWAYAT HIDUP EMILE DURKHEIM
Emile Durkheim lahir di Epinal propinsi Lorraine,  Perancis Timur pada tanggal 15 April 1858. Ia anak seorang rabi Yahudi. Namun Durkheim tidak mengikuti tradisi orang tuanya untuk menjadi rabi. Ia memilih menjadi Katholik, tetapi kemudian memilih untuk tidak tahu menahu tentang Katholikisme. Ia lebih menaruh perhatian pada masalah moralitas, terutama moralitas kolektif. Durkheim termasuk dalam tokoh Sosiologi yang memperbaiki metode berpikir Sosiologis yang tidak hanya berdasarkan pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi Sosiologi akan menjadi suatu ilmu pengetahuan yang benar apabila mengangkat gejala sosial sebagai fakta-fakta yang dapat diobservasi.
Pada usia 21 tahun Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure setelah sebelumnya gagal dalam ujian masuk. Di Universitas tersebut dia merupakan mahasiswa yang serius dan kritis, kemudian pemikiran Durkeim dipengaruhi oleh dua orang profesor di Universitasnya itu (Fustel De Coulanges dan Emile Boutroux).
Setelah menamatkan pendidikan di Ecole Normale Superieure, Durkheim mengajar filsafat di salah satu sekolah menengah atas (Lycees Louis-Le-Grand) di Paris pada tahun 1882 sampai 1887. Sejak awal karir mengajarnya, Durkheim bertekad untuk menekankan pengajaran praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat tradisional yang menurut dia tidak relevan dengan masalah social dan moral yang gawat yang sedang melanda pada saat itu.
a.       Melembagakan Sosiologi sebagai Satu Disiplin Ilmu
Pada tahun 1887 ,ketika Durkheim berusia 29 tahun disamping prestasinya sebagai pengajar dan pembuat artikel dia juga berhasil mencetuskan sosiologi sebagai disiplin ilmu yang sah di bidang akademik karena prestasinya itu dia diharrgai dan diangkat sebagai ahli ilmu sosial di fakultas pendidikan dan fakultas ilmu sosial di universitas Bourdeaux. Tercantumnya ilmu social secara eksplisit di antara mata pelajaran yang diasuhnya merupakan pengakuan akan komitmennya serta prestasinya sebagai ahli ilmu social.
Tahun 1893 Durkheim menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa perancis yaitu The Division of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa Latin tentang Montesqouieu. Kemudian tahun 1895 menerbitkan buku keduanya yaitu The Rules of Sociological Method. Tahun 1896 diangkat menjadi professor penuh untuk pertama kalinya di Prancis dalam bidang ilmu sosial. Tahun 1897 menerbitkan buku ketiganya yang berjudul Suicide (Le-Suicide) dan mendirikan L’Anée Sociologique (jurnal ilmiah pertama tentang Sosiologi). Tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne dan tahun 1906 dipromosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan. Enam tahun keudian (1912) menerbitkan karya keempatnya yaitu The Elementary Forms of Religious Life. Satu tahun setelahnya (1913) kedudukannya diubah menjadi professor ilmu Pendidikan dan Sosiologi. Pada tahun 1913 Sosiologi resmi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat terhormat di Prancis.
Tahun 1915 Durkheim mendapat musibah, putranya (Andre) cedera parah dan meninggal. Pada 15 November 1917 (pada usia 59 tahun) Durkheim meninggal sesudah menerima penghormatan dari orang-orang semasanya untuk karirnya yang produktif dan bermakna, serta setelah dia mendirikan dasar Sosiologi ilmiah.
b.      Pengaruh Sosial dan Intelektual terhadap Durkheim
Perhatian Durkheim sepanjang hidupnya terhadap solidaritas dan integrasi sosial muncul antara lain karena keadaan keteraturan sosial yang goyah di masa Republik Ketiga. Durkheim berusaha memahami dasar-dasar munculnya keteratran social, ia melihat kesulitan-kesulitan selama periode peralihan dimana dia hidup, tetapi ia juga optimis bahwa pengetahuan ilmiah tentang hukum masyarakat dapat menyumbang terkonsolidasinya dasar moral keteraturan social pada saat itu.

B.     KENYATAAN FAKTA SOSIAL
Untuk memisahkan sosiologi dengan filsafat dan memberinya kejelasan serta identitas tersendiri, Durkheim(1895/1982) menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi haruslah berupa fakta sosial. Hal yang penting dalam pemisah sosiologi dan filsafat adalah ide bahwa fakta sosial dianggap sebagai sesuatu dan dipelajari secara empiris. Artinya bahwa fakta sosial mesti dipelajari I dengan perolehan data dari luar pikiran kita melaluiobservasi dan eksperimen.
“fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial atau seluruh cara bertindak yang umum yang dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manivestasi-manivestasi individual”.
(Durkheim,1985/1982: 13)
Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada individu, namun mesti di pelajari sebagai realitas mereka. Durkheim menyebut fakta sosial dengan istilah latin sui generis, yang berarti unik. Durkheim menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bahwa fakta sosial memiliki karakter unik yang tidak bisa direduksi menjadi sebatas kesadaran individu.
Durkheim memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial, diantaranya bahasa karena bahasa merupakan contoh yang paling mudah dipahami. Pertama karena bahasa adalah sesuatu yang mesti  dipelajari secara empiris. Kedua, bahasa adalah sesuatu yang berada diluar individu. Meskipun individu menggunakan bahasa, namun bahasa tidak bisa didefinisikan atau diciptakan oleh individu. Ketiga, bahasa memaksa individu. Bahasa yang kita pakai membuat sesuatu benar-benar  sulit untuk dikatakan. Terakhir, perubahan dalam bahasa hanya bisa dipelajari melalui fakta sosial lain dan tidak bisa hanya dengan keinginan individu saja.
Fakta Sosial Material dan Nonmaterial
Durkheim membedakan fakta sosial material dan non material. Fakta sosial material seperti gaya arsitektur, bentuk teknologi, hukum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Misalnya, aturan berada diluar individu dan memaksa mereka. Lebih penting lagi fakta sosial material tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial.
Durkheim melihat fakta sosial berada di sepanjang kontinum hal-hal yang material. Sosiolog sering memulai studinya dengan fokus pada fakta sosial material, yang dapat dipahami secara empiris, untuk memahami fakta sosial nonmaterial yang merupakan fokus sebenarnya dari studi yang dia lakukan. Hal yang paling material misalnya tingkat kepadatan populasi, saluran komunikasi, dan susunan perumahan. Durkheim menyebutnya dengan fakta morfologis dan semua itu termasuk hal yang paling penting dalam buku pertamanya” the Divinition of Labor. Pada level lain fakta sosial material itu bisa berupa komponen structural(birokrasi, misal) yang bercampur dengan komponen morfologis(kepadata penduduk dalam susunan perumahan dan jalur komunikasi mereka) dan fakta sosial nonmaterial( missal norma birokrasi)
C.    SOLIDARITAS DAN TIPE STRUKTUR SOSIAL
Solidaritas social merupakan istilah yang erat hubungannya dengan integrasi sosial dan kelompak sosial. Singkatnya solidaritas menunjuk pada suatu keadaan  hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh  pangalaman emosional bersama.
1.      Solidaritas Mekanik dan Organik
Solidaritas mekanik dan organik merupakan sumbangan Durkheim yang paling terkenal. Solidritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama (collective conciousness/conscience ), yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama itu”.  Itu merupakan suatu solidaritas yang tegantung pada individu-induvidu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut keprcayaan dan pola normatif yang sama pula.
Bagi Durkheim indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan (repressive). Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara obyaktif yang menimpa masyarakt, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya. Sebaliknya hukuman itu mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul tidak terlalu banyak oleh sifat orang yang menyimpang
Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan sebagainya. Homogenitas hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim.
Berlawanan dengan itu, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Durkheim memepertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restutive) daripada yang bersifat represif.
Tujuan kedua tipe hukum itu sangat berbeda. Hukum represif mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat, hukum restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi  atau kelompo-kelompok dalam masyarakat. Karena itu sifat hukuman yang diberiakn kepada seorang penjahat berbeda dalam kedua hukum itu.
Dalam sistem organik, kemarah kolektif yang timbul kareana perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya, karena kesadaran kolektif tidak begitu kuat. Sebagai hasilnya, hukuman lebih bersifat rasional, disesuaikan dengan parahnya pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau melindungi pihak atau yang dirugikan aatua menjamin bertahannya pola saling ketergantungan yang kompleks itu, yang mendasari solidaritas sosial.
2.       Kesadaran Kolektif dalam Masyarakat
Pertumbuhan dalam pembagian kerja (dan solidaritas sebagai hasilnya) tidak menghancurkan kesadaran kolektif, dia hanya mengurangi arti pentingnya dalam pengaturan terperinci dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memberikan lebih banyak ruang untuk otonomi individu dan heterogenitas sosial, tetapi tidak harus membuat individu menjadi terpisah sama sekali dari ikatan sosial yang didasarkan pada konsensus moral.
Durkheim menghubungkan pengaruh yang terus-menerus dari kesadaran kolektif ini dengan individualisme yang semakin meningkat dalam masyarakat-masyarakat organik. Kesadaran kolektif juga ada dalam bentuk yang lebih terbatas dalam berbagai kelompok khusus dalam masyarakat. Dalam solidaritas mekanik yang dinyatakan dalam kelompok agama, ada sejumlah ikatan sosial yang bersifat primordial “mekanik”, seperti kekerabatan, kesukuan, dan komunitas. Ikatan-ikatan ini jelas tidak dapat mempersatukan semua anggota suatu masyarakat yang kompleks, tetapi merupakan sumber-sumber penting untuk solidaritas kelompok-kelompok inti yang tidak terbilang jumlahnya yang mempersatukan masyarakat seluruhnya.
Durkheim menekankan pentingnya kesadaran kolektif bersama yang mungkin ada dalam berbagai kelompok pekerjaan dan profesi. Keserupaan dalam kegiatan dan kepentingan pekerjaan memperlihatkan suatu homogenitas internal yang memungkinkan berkembangnya kebiasaan, kepercayaan, perasaan, dan prinsip moral atau kode etik bersama. Durkheim merasa bahwa solidaritas mekanik dalam berbagai pekerjaan dan profesi harus menjadi semakin penting begitu pembagian pekerjaan meluas, sebagai satu alat perantara yang penting antara individu dan masyarakat secara keseluruhannya.
3.      Evolusi Sosial
Durkheim melihat dasar integrasi sosial yang sedang mengalami perubahan ke satu bentuk yang baru, dari solidaritas mekanik ke yang organik. Bentuk solidaritas organik yang baru ini yang benar-benar disadarkan pada saling ketergantungan antara “bagian-bagian” yang terspesialisasi, dapat merupakan satu sumber yang lebih menyeluruh, lebih mampu dan lebih dalam untuk integrasi sosial daripada bentuk integrasi mekanik yang lama yang didasarkan terutama pada kesamaan dalam kepercayaan dan nilai.
Kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas mekanik paling kuat perkembangannya  dalam masyrakat primitif yang sederhana. Pembagian kerja dalam masyarakat seperti ini masih rendah, tergantung pada usia dan jenis kelamin.  Lama kelamaan pembagian kerja pada msyarakt primitif ini mulai berkembang dan terspesialisasi. Analisis Durkheim mengenai meningkatnya pembagian kerja dan kompleksitas juga dapat dilihat sebagai model linier.
Berbeda dengan masyarakat barat mereka berkecenderungan terdapat semakin bertambahnya spesialisasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja. Kecenderungan ini memeiliki dampak penting. Yang pertama adala, dia merombak kesadaran kolektif yang memungkinkan berkembangnya individualitas. Ddampak kedua , dia meni ngkatkan solidaritas organik yang diddasrkan pada saling ketergantungan fungsional.
Berikut ini adalah perbandingan antara sifat-sifat  masyarakat yang berdasarkan pada solidaritas mekanik   dan sifat masyarakat yang didasarkan pada solodaritas organik.
Solidaritas mekanik
Solidaritas organik
·         pembagian kerja randah
·         kesadaran kolektif kuat
·         hukum represif dominan
·         individualitas rendah
·         konsensus terhadap pola-pola normatif itu penting
·         ketrlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
·         seacar relatif saling ketergantungan itu rendah
·         bersifat primitif atau pedesaan
·         Pembgaian kerja tinggi
·         Kesadaran kolektif lemah
·         Hukurestitutif dominan
·         Induvidualitas tinggi
·         Konsesnsus pada nilai=nilai abstrak dan umum itu penting
·         Badan-bandan kontrol sosiaL yang menghukum orang yang mnyimpang
·         Saling ketergantungan yang tinggi
·         Bersifat industrial-perkotaan

Dikotomi antara bentuk struktur sosial pramodern dan yang modern tidak hanya dikenal dalam analisa Durkheim. Mungkin sangat mirip dengan distingsi Tonnies yang terkenal itu antara masyarakat gemeischaft dan masyarakat gesellschaft.

D.    ANCAMAN TERHADAP SOLIDARITAS
Dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik, solidaritas social terancam oleh kemungkinan perpecahan kelompok-kelompok kecil yang secara fungsional bersifat otonom dan oleh jenis prilaku menyimpang apa saja yang merusakkan kesadaran kolektif yang kuat. hukuman terhadap penyimpangan merupakan suatu pencegahan terhadap penyimpangan yang akan datang.
Peralihan dari solidaritas mekanik ke yang orgnik tidak selalu merupakan proses yang lancar dan penuh keseimbangan tanpa ketegangan-ketegangan. Karena ikatan social primordial yang lama dalam bidang agama, kekerabatan, dan komunitas dirusak oleh meningkatnya pembagian kerja, mungkin ada ikatan-ikatan social lain yang tidak berhasil menggantikannya.
1.      Sumber-sumber Ketegangan dalam Masyarakat Organik yang Komplek.
Dalam masyarakat dengan pembagian kerja yang sangat berkembang serta pola-pola saling ketergantungan yang kompleks, integrasi mungkin dirusakkan oleh koordinasi yang tidak memadai lagi antara orang-orang yang memiliki spesialisasi yang tinggi yang kegiatan-kegiatannya tidak dapat dihubungkan menjadi satu.
Suatu ancaman yang lebih penting lagi terhadap solidaritas organik,berkembang dari heterogenitas dan individualitas yang semakin besar
yang berhubungan dengan pembagian kerja yang tinggi. Dengan heterogenitas yang tinggi, ikatan bersama yang mempersatukan berbagai anggota masyarakat menjadi kendor. Individu mulai mengindentifikasikan dirinya dengan kelompok yang terbatas yang terdapat dalam masyarakat seperti kelompok pekerjaan.
Dengan melihat adanya nilai yang tinggi dalam solidaritas kelompok pekerjaan, melalui kelompok-kelompok itulah individu dapat dihubungkan dengan keteraturan yang lebih besar. Namun, jika solidaritas yang kuat digabungkan dengan melemahnya identifikasi dengan masyarakat yang lebih luas,maka kemungkinan konflik itu ada karena kelompok-kelompok itu mengejar keuntungannya sendiri dengan merugikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.


2.      Integrasi Sosial dan angka bunuh diri
Durkheim sangat terkenal dengan studinya tentang kecenderungan orang untuk melakukan bunuh diri. Dalam bukunya yang kedua, ‘Suicide’ dikemukakannya dengan jelas, hubungan antara pengaruh integrasi sosial terhadap kecenderungan unutk melakukan bunuh diri. Dalam hal ini Durkheim dengan tegas menolak anggapan-anggapan lama tentang penyebab bunuh diri yang disebabkan oleh penyakit kejiiwaan sebagaimana teori psikologi mengatakannya.
Dia juga menolak anggapan Gabriel Tarde, seorang sarjana Perancis yang mengatakan bahawa bunuh diri adalah akibat imitasi. Dia juga menolak teori ras tentang kecenderungan orang melakukan bunuh diri, dan ia juga menolak teori yang menyatakan bahwa orang bunuh diri karena kemiskinan. Selanjutnya  Durkheim menambahkan bahwa jika diselidiki, sebenarnya ada pola yang lebih teratur daripada sebab-sebab serta penjelasan yang diberikan oleh teori terdahulu mengenai bunuh diri.
Berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari banyak negara, dimana ternyata terdapat di negara-negara tertentu yang memiliki angaka bunuh diri yang tidak berbeda dari waktu ke waktu akan tetapi berbeda dari satu negara dibandingkan dengan negara lain. Kalau demikian halnya, bunuh diri haruslah bersumber dari keadaan masyarakat yang bersangkutan. Data yang telah yang dikumpulkan Durkheim untuk menunjukan bahwa di negara-negara tertentu terdapat angka bunuh diri yang hampir tidak berbeda dari waktu ke waktu adalah sebagai berikut.
Negara dan Angka Bunuh Diri
Tahun
Perancis
Rusia
Saksen
Bavaria
Denmark
1849
3583
1507
328
189
337
1850
3596
1736
390
250
340
1851
3598
1009
402
260
401
Demikian halnya dengan usaha Durkheim unutk menolak bahwa bunuh diri diakibatkan karena sebeb-sebab psikologis, dia menunjukkan angka-angka bunuh diri dari berbagai negara sebagai berikut.
Negara
Jumlah orang sakit jiwa
Angka bunuh diri
Norwegia
180-1
4-107
Skotlandia
164-2
8-34
Denmark
125-3
1-258
Perancis
99-5
5-100
Data di atas menunjukkan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak membawa pengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Dengan demikian, menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Untuk membuktikan teori ini, Durkheim memusatkan perhatiannya kepada 3 macam kesatuan sosial yang pokok di dalam masyarakat, yaitu kesatuan agama, keluarga, dan kesatuan politik.
Bunuh Diri di Dalam Kesatuan Agama
Durkheim menunjukkan data yang membuktikan bahwa angka laju bunuh diri adalah berbeda diantara penganut agama Protestan dengan penganut agama Katolik dan penganut agama Katolik ortodox.
a.       Negara-negara protestan (Prusia-Saksen-Denmark)
Angka laju bunuh diri : 190 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
b.      Negara-negara Roma Katolik (bercampur sedikit Protestan)
Angka laju bunuh diri : 90 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
c.       Negara-negara Katolik mayoritas (Portugal-Itali)
Angka laju bunuh diri : 58 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
d.      Negara-negara Katolik ortodox
Angka laju bunuh diri : 40 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
            Dengan angka-angka ini, Durkheim membuat kesimpulan bahwa penganut agama-agama Protestan mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan penganut agama Katolik. Ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan angka bunuh diri antara penganut agama Protestan dan Katolik adalah terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh kedua agama tersebut kepada para penganutnya. Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk mencari sendiri hakekat ajaran kitab suci, sedangkan dalam agama Katolik tafsir agama lebih ditentukan oleh para pater (pemuka Gereja).
Agama Protestan menolak ajaran tradisional yang diajarkan oleh pemuka Gereja, akibatnya kepercayaan bersama dari orng-orang Protestan menjadi berkurang sehingga timbul suatu keadaan dimana penganut ajaran Protestan tidak lagi menganut tafsir yang sama, sehingga sekarang ini terdapat banyak gereja Protestan (sekte-sekte). Dengan kata lain, terdapat perbedaan derajat integrasi sosial diantara penganut agama Katolik. Integrasi sosial yang rendah dari penganut agama Protestan itulah yang menyebabkan angka laju bunuh diri dari penganut ajaran agama ini lebih besar kecenderungannya melakukan bunuh diri dibandingkan dengan penganut ajaran Katolik.
            Jadi jelas di sini, Durkheim ingin menekankan bahwa bunuh diri tidak berhubungan dengan ajaran-ajaran agama, tetapi lebih berhubungan dengan derajat integrasi dari pengikut-pengikut suatu ajaran agama sebagai faktor sosial. Sehingga faktor bunuh diri itu, sebenarnya harus dilihat dari sudut kehidupan komunitas atau masyarakat.
Bunuh Diri di Dalam Kesatuan Keluarga
Durkheim menolak anggapan bahwa bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang sudah berkeluarga, dibandingkan dengan mereka yang belum berkeluarga atau tidak kawin. Anggapan itu ditunjukkan dalam angka sebagai berikut: bahwa di Perancis, antara tahun 1878, terdapat sejumlah 16.264 orang yang sudah berkeluarga melakukan bunuh diri, dibandingkan dengan sejumlah 11.709 orang yang belum kawin/ berkeluarga yang melakukan bunuh diri. Dari data ini dapat dsimpulkan bahwa keluarga itu sebenarnya membawa derita sehingga lebih baik hidup sendiri atau tidak berkeluarga. Bukti ini disanggah oleh Durkheim yang menyatakan bahwa jumlah angka bunuh diri dari golongan orang-orang tidak kawin melibatkan anak-anak dalam usia 0-16 tahun yang pada umumnya terintegrasi dengan kuat di dalam keluarga masing-masing.
Durkheim membuat satu penelitian untuk membandingkan angka laju bunuh diri antara orang-orang yang tidak kawin dan usia 16 tahun ke atas. Dari hasil penelitiannya diperoleh angka sebagai berikut.
a.       Sejumlah 173 orang dari tiap satu juta penduduk tedapat orang-orang yang tidak kawin yang melakukan bunuh diri
b.      Sejumlah 154.5 orang dari tiap satu juta penduduk dari orang-orang yang sudah kawin yang melakukan bunuh diri
Dari bukti-bukti ini, Durkheim menunjukkan bahwa angka laju bunuh diri lebih banyak terdapat pada orang-orang yang tidak kawin dibandingkan mereka yang sudah kawin. Hal ini disebabkan, jika Malthus menganjurkan pembatasan kelahiran unutk mengurangi jumlah penduduk, sebaliknya Durkheim mengatakan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga maka akan semakin kecil pula keinginan unutk terus hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar akan semakin mengikat orang kepada kegiatan-kegiatan sosial diantara anggota kesatuan tersebut. Demikian juga dalam hal ini, kesatuan keluarga yang lebih besar umumnya akan lebih terintegrasi. Dalam hal ini, Durkheim menggunakan istilah kepadatan keluarga.
            Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik
Durkheim juga mengungkapkan beberapa data yang mengungkapkan bahwa kecenderungan yang berbeda dalam tingkat bunuh diri antara golongan militer dibandingkan dengan golongan sipil. Durkeim mengungkapkan, dalam keadaan damai golongan militer umumnya lebih besar kecencerungannya unutk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan golongan masyarakat sipil. Sedangkan dalam situasi perang justru lebih sedikit melakukan bunuh diri bila dibanding dengan golongan sipil. Sebabnya menurut Durkheim adalah ketika situasi perang golongan militer lebih terintegrasi dengan baik, dibanding dalam keadaan damai. Sebaliknya, dalam situasi damai, integrasi masyarakat lebih kuat sehinga cenderung lebih rendah angka bunuh dirinya, sedangkan dalam situasi perang golongan masyarakat sipil mengalami penurunan dalam derajat integrasinya sehingga kecenderungan bunuh dirinya semakin besar.
Untuk membuktikan hal ini, Durkheim menggunakan dua momen di Perancis tahun 1848 dimana sedang terjadi pemberontakan di Perancis. Dia mengumpulkan data-data tentang bunuh diri dalam dua momen politikitu dan membandingkannya dengan data-data bunuh diri yang tercatat pada tahun-tahun sebelum peristiwa tersebut. Angka-angka yang diperoleh adalah sebagai berikut.
Tahun 1848, angka bunuh diri adalah sejumlah: 1904
Tahun 1830, angka bunuh diri adalah sejumlah: 1756
Tahun 1829, angka bunuh diri adalah sejumlah: 3647
Tahun 1847, angka bunuh diri adalah sejumlah: 3307
Terlihat dari data bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi/ pergolakan politik dibandingkan dengan masa tidak terjadi pergolakan politik. Demikianlah dengan keseluruhan uraian ini apa yang ingin dikemukakan Durkheim sebenarnya adalah bagaimana besarnya pengaruh faktor-faktor sosial terhadap kehidupan individu. Faktor sosial yang disebut dengan Conscious Collective itu yang menjadi semacam jiwa kelompok yang mengikat individu-individu ke dalam derajat integrsi sehingga ia menolak jalan pikiran psikologistik di dalam mempengaruhi kehidupan individu.
3.      Hubungan antara Orientasi Agama dan Struktur Sosial
Pengalaman agama dan ide tentang yang suci adalah produk kehidupan kolekif, kepercayaan dan ritus agama juga memperkuat ikatan-ikatan social di mana kehidupan kolektif itu bersandar. Dengan kata lain, hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling ketergantungan yang sangat erat. Menurut Durkheim, kepercayaan-kepercayaan totemik (atau tipe-tipe kepercayaan agama lainnya) memperlihatkan kenyataan masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis. Ritus totemik mempersatukan individu dalam kegiatan bersama dalam satu tujuan bersama dan memperkuat kepercayaan, perasaan dan komitmen moral yang merupakan dasar struktur social. Jadi ide tentang yang suci itu diperkuat, karena anggota-onggota kelompok itu berulang kali mengalami kenyataan kelompok itu sendiri. Kenyaan ini dimanifestasikan dalam perasaan-perasaan bersama serta kegiatan bersama yang berhubunganngan dengan pelaksaan ritus agama yang berulang-ulang atau penegasan kembali mengenai kepercayaan mereka yang sama tentang yang suci.
4.      Agama dalam Masyarakat modern
Analisa Durkheim tentang perasaan gembira emosional yang bertalian dengan upacara ritus kolektif mungkin agak tidak pada tempatnya untuk masyarakat masa kini. Dimana,banyak para pemimpin agama bersifat kritis terhadap pelayanan-pelayanan ibadah yang memperlihatkan bentuk ritualisme belaka tanpa mengandung makna atau membangkitkan emosi.
Durkheim mengakui bahwa bentuk agama tradisional pada masa hidupnya tidak memperlihatkan kegairahan hidup yang merupakan sifat agama orang Arunta di Australia. Dia merasa bahwa kurangnya gairah hidup dalam bentuk agama di masa hidupnya karena rendahnya tingkat solidaritas dalam masyarakat, meskipun demikian dia percaya ini akan berubah karena jenis-jenis pengalaman kolektif yang baru melahirkan bentuk-bentuk solidaritas yang baru, dan yang dapat memperkuatnya.
5.      Asal-usul bentuk pengetahuan dalam masyarakat
Menjelang akhir buku The elementary forms, Durkheim memperluas pokok pikiran utamanya dengan mengemukakan bahwa tidak hanya pemikiran agama melainkan juga pengetahuan pada umumnya berlandaskan pada dan mencerminkan dasar social.Misalnya, semua pengetahuan tergantung pada bahasa untuk dapat diteruskan ke generasi berikutnya,dan bahasa adalah produk social, bukan ciptaan individu. Pada tingkat yang lebih dalam Durkheim mengemukakan bahwa kategori-kategori berfikir yang dasar muncul dari kehidupan social dan mencerminkan struktur social. Suatu pemikiran agama dan ilmiah ditentukan oleh kondisi dan mencerminnkan tipe struktur social dimana pemikiran-pemikiran itu muncul.

BAB III
KESIMPULAN

Hasrat besar untuk menemukan konsep-konsep seperti yang dituangkan dalam The Devision of Labor dan The Rules of Sociological Method. Solidaritas sosial dipandang sebagi perpaduan kepercayaan dan perasaan yang lazim dimiliki para anggota suatu masyarakat tertentu. Rangkaian kepercayaan ini membentuk suatu sistem dan memiliki ruh tersendiri. Dalam kajiannya Durkeim mengemukakan pernyataan yang lebih meyakinkan mengenai hakikat fakta-fakta sosial dan juga menetapkan kriteria metode aslinya dan hasilnya adalah sebuah statemen terbaik untuk mengungkapkan metode positivistik yang diterapkan dizamannya.
            Perluasan baru atas ide-ide ini terdapat dalam karya Durkeim, Suiced ( Bunuh Diri), dia membagi bunuh diri menjadi empat macam:
1.      Altruistik (Dimana kasus bunuh diri terjadi demi kepentingan kelompok seperti, seorang pahlawan perang).
2.      Egoistik (karena adanya kekurangan dalm organisasi sosial dan berupaya untuk menjauhkan diri dari kelompok itu)
3.      Anomik,dimana penyesuaian masyarakat terganggu oleh perubahan sosial yang negatif
4.      Fatalistic, tidak terlalu banyak dibahas oleh Durkheim
Menurut Durkeim, masalah sentral dari eksistensi sosial adalah masalah keteraturan, bagaimana mencapai solidaritas sosial dalam masyarakat. Masyarakat dengan tipe yang berbeda-beda mencapai solidaritas sosial dengan cara yang berbeda pula. Pada masyarakat pra-modern, tradisional, dimana manusia hidup dengan cara yang hampir sama satu dengan yang lain. Buntuk solidaritas mekanik ini adalah hasil dari pembagian kerja yang sederhana, mereka memiliki bersama aturan-aturan kolektif yang mengatur bagaimana berperilaku yang dipenuhi tanpa kesukaran yang berarti. Masalah kompleks pada masyarakat modern, ada beragam peranan dan cara untuk hidup sehingga solidaritas sosial menjadi jauh lebih sukar dicapai. Bagi Durkeim ini adalah bahaya utama dari modernitas. Kekuatan yang memisahkan dan membagi-bagi orang begitu besar sehingga disentegrasi sosial adalah ancaman yang nyata. masalahnya adalah bahwa modernitas mendorong terjadinya individualisme.


DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Wardi. 2006. “Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons”. Jakarta: PT Remaja Rosdakarsa.
Jones Pip.2009. “Pengantar Teori-teori Sosial”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Samuel, Hanneman. 2010. Emile Durkheim Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Ciamis: Buku Kepik Ungu.
Siahaan,M Hotman.1986. Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga
Jhonshon, Doyle Paul.1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia