Rabu, 28 November 2012

EMILE DURKHEIM


A.    PROFIL DAN RIWAYAT HIDUP EMILE DURKHEIM
Emile Durkheim lahir di Epinal propinsi Lorraine,  Perancis Timur pada tanggal 15 April 1858. Ia anak seorang rabi Yahudi. Namun Durkheim tidak mengikuti tradisi orang tuanya untuk menjadi rabi. Ia memilih menjadi Katholik, tetapi kemudian memilih untuk tidak tahu menahu tentang Katholikisme. Ia lebih menaruh perhatian pada masalah moralitas, terutama moralitas kolektif. Durkheim termasuk dalam tokoh Sosiologi yang memperbaiki metode berpikir Sosiologis yang tidak hanya berdasarkan pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi Sosiologi akan menjadi suatu ilmu pengetahuan yang benar apabila mengangkat gejala sosial sebagai fakta-fakta yang dapat diobservasi.
Pada usia 21 tahun Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure setelah sebelumnya gagal dalam ujian masuk. Di Universitas tersebut dia merupakan mahasiswa yang serius dan kritis, kemudian pemikiran Durkeim dipengaruhi oleh dua orang profesor di Universitasnya itu (Fustel De Coulanges dan Emile Boutroux).
Setelah menamatkan pendidikan di Ecole Normale Superieure, Durkheim mengajar filsafat di salah satu sekolah menengah atas (Lycees Louis-Le-Grand) di Paris pada tahun 1882 sampai 1887. Sejak awal karir mengajarnya, Durkheim bertekad untuk menekankan pengajaran praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat tradisional yang menurut dia tidak relevan dengan masalah social dan moral yang gawat yang sedang melanda pada saat itu.
a.       Melembagakan Sosiologi sebagai Satu Disiplin Ilmu
Pada tahun 1887 ,ketika Durkheim berusia 29 tahun disamping prestasinya sebagai pengajar dan pembuat artikel dia juga berhasil mencetuskan sosiologi sebagai disiplin ilmu yang sah di bidang akademik karena prestasinya itu dia diharrgai dan diangkat sebagai ahli ilmu sosial di fakultas pendidikan dan fakultas ilmu sosial di universitas Bourdeaux. Tercantumnya ilmu social secara eksplisit di antara mata pelajaran yang diasuhnya merupakan pengakuan akan komitmennya serta prestasinya sebagai ahli ilmu social.
Tahun 1893 Durkheim menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa perancis yaitu The Division of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa Latin tentang Montesqouieu. Kemudian tahun 1895 menerbitkan buku keduanya yaitu The Rules of Sociological Method. Tahun 1896 diangkat menjadi professor penuh untuk pertama kalinya di Prancis dalam bidang ilmu sosial. Tahun 1897 menerbitkan buku ketiganya yang berjudul Suicide (Le-Suicide) dan mendirikan L’Anée Sociologique (jurnal ilmiah pertama tentang Sosiologi). Tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne dan tahun 1906 dipromosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan. Enam tahun keudian (1912) menerbitkan karya keempatnya yaitu The Elementary Forms of Religious Life. Satu tahun setelahnya (1913) kedudukannya diubah menjadi professor ilmu Pendidikan dan Sosiologi. Pada tahun 1913 Sosiologi resmi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat terhormat di Prancis.
Tahun 1915 Durkheim mendapat musibah, putranya (Andre) cedera parah dan meninggal. Pada 15 November 1917 (pada usia 59 tahun) Durkheim meninggal sesudah menerima penghormatan dari orang-orang semasanya untuk karirnya yang produktif dan bermakna, serta setelah dia mendirikan dasar Sosiologi ilmiah.
b.      Pengaruh Sosial dan Intelektual terhadap Durkheim
Perhatian Durkheim sepanjang hidupnya terhadap solidaritas dan integrasi sosial muncul antara lain karena keadaan keteraturan sosial yang goyah di masa Republik Ketiga. Durkheim berusaha memahami dasar-dasar munculnya keteratran social, ia melihat kesulitan-kesulitan selama periode peralihan dimana dia hidup, tetapi ia juga optimis bahwa pengetahuan ilmiah tentang hukum masyarakat dapat menyumbang terkonsolidasinya dasar moral keteraturan social pada saat itu.

B.     KENYATAAN FAKTA SOSIAL
Untuk memisahkan sosiologi dengan filsafat dan memberinya kejelasan serta identitas tersendiri, Durkheim(1895/1982) menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi haruslah berupa fakta sosial. Hal yang penting dalam pemisah sosiologi dan filsafat adalah ide bahwa fakta sosial dianggap sebagai sesuatu dan dipelajari secara empiris. Artinya bahwa fakta sosial mesti dipelajari I dengan perolehan data dari luar pikiran kita melaluiobservasi dan eksperimen.
“fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial atau seluruh cara bertindak yang umum yang dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manivestasi-manivestasi individual”.
(Durkheim,1985/1982: 13)
Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada individu, namun mesti di pelajari sebagai realitas mereka. Durkheim menyebut fakta sosial dengan istilah latin sui generis, yang berarti unik. Durkheim menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bahwa fakta sosial memiliki karakter unik yang tidak bisa direduksi menjadi sebatas kesadaran individu.
Durkheim memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial, diantaranya bahasa karena bahasa merupakan contoh yang paling mudah dipahami. Pertama karena bahasa adalah sesuatu yang mesti  dipelajari secara empiris. Kedua, bahasa adalah sesuatu yang berada diluar individu. Meskipun individu menggunakan bahasa, namun bahasa tidak bisa didefinisikan atau diciptakan oleh individu. Ketiga, bahasa memaksa individu. Bahasa yang kita pakai membuat sesuatu benar-benar  sulit untuk dikatakan. Terakhir, perubahan dalam bahasa hanya bisa dipelajari melalui fakta sosial lain dan tidak bisa hanya dengan keinginan individu saja.
Fakta Sosial Material dan Nonmaterial
Durkheim membedakan fakta sosial material dan non material. Fakta sosial material seperti gaya arsitektur, bentuk teknologi, hukum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Misalnya, aturan berada diluar individu dan memaksa mereka. Lebih penting lagi fakta sosial material tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial.
Durkheim melihat fakta sosial berada di sepanjang kontinum hal-hal yang material. Sosiolog sering memulai studinya dengan fokus pada fakta sosial material, yang dapat dipahami secara empiris, untuk memahami fakta sosial nonmaterial yang merupakan fokus sebenarnya dari studi yang dia lakukan. Hal yang paling material misalnya tingkat kepadatan populasi, saluran komunikasi, dan susunan perumahan. Durkheim menyebutnya dengan fakta morfologis dan semua itu termasuk hal yang paling penting dalam buku pertamanya” the Divinition of Labor. Pada level lain fakta sosial material itu bisa berupa komponen structural(birokrasi, misal) yang bercampur dengan komponen morfologis(kepadata penduduk dalam susunan perumahan dan jalur komunikasi mereka) dan fakta sosial nonmaterial( missal norma birokrasi)
C.    SOLIDARITAS DAN TIPE STRUKTUR SOSIAL
Solidaritas social merupakan istilah yang erat hubungannya dengan integrasi sosial dan kelompak sosial. Singkatnya solidaritas menunjuk pada suatu keadaan  hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh  pangalaman emosional bersama.
1.      Solidaritas Mekanik dan Organik
Solidaritas mekanik dan organik merupakan sumbangan Durkheim yang paling terkenal. Solidritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama (collective conciousness/conscience ), yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama itu”.  Itu merupakan suatu solidaritas yang tegantung pada individu-induvidu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut keprcayaan dan pola normatif yang sama pula.
Bagi Durkheim indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan (repressive). Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara obyaktif yang menimpa masyarakt, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya. Sebaliknya hukuman itu mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul tidak terlalu banyak oleh sifat orang yang menyimpang
Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan sebagainya. Homogenitas hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim.
Berlawanan dengan itu, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Durkheim memepertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restutive) daripada yang bersifat represif.
Tujuan kedua tipe hukum itu sangat berbeda. Hukum represif mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat, hukum restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi  atau kelompo-kelompok dalam masyarakat. Karena itu sifat hukuman yang diberiakn kepada seorang penjahat berbeda dalam kedua hukum itu.
Dalam sistem organik, kemarah kolektif yang timbul kareana perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya, karena kesadaran kolektif tidak begitu kuat. Sebagai hasilnya, hukuman lebih bersifat rasional, disesuaikan dengan parahnya pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau melindungi pihak atau yang dirugikan aatua menjamin bertahannya pola saling ketergantungan yang kompleks itu, yang mendasari solidaritas sosial.
2.       Kesadaran Kolektif dalam Masyarakat
Pertumbuhan dalam pembagian kerja (dan solidaritas sebagai hasilnya) tidak menghancurkan kesadaran kolektif, dia hanya mengurangi arti pentingnya dalam pengaturan terperinci dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memberikan lebih banyak ruang untuk otonomi individu dan heterogenitas sosial, tetapi tidak harus membuat individu menjadi terpisah sama sekali dari ikatan sosial yang didasarkan pada konsensus moral.
Durkheim menghubungkan pengaruh yang terus-menerus dari kesadaran kolektif ini dengan individualisme yang semakin meningkat dalam masyarakat-masyarakat organik. Kesadaran kolektif juga ada dalam bentuk yang lebih terbatas dalam berbagai kelompok khusus dalam masyarakat. Dalam solidaritas mekanik yang dinyatakan dalam kelompok agama, ada sejumlah ikatan sosial yang bersifat primordial “mekanik”, seperti kekerabatan, kesukuan, dan komunitas. Ikatan-ikatan ini jelas tidak dapat mempersatukan semua anggota suatu masyarakat yang kompleks, tetapi merupakan sumber-sumber penting untuk solidaritas kelompok-kelompok inti yang tidak terbilang jumlahnya yang mempersatukan masyarakat seluruhnya.
Durkheim menekankan pentingnya kesadaran kolektif bersama yang mungkin ada dalam berbagai kelompok pekerjaan dan profesi. Keserupaan dalam kegiatan dan kepentingan pekerjaan memperlihatkan suatu homogenitas internal yang memungkinkan berkembangnya kebiasaan, kepercayaan, perasaan, dan prinsip moral atau kode etik bersama. Durkheim merasa bahwa solidaritas mekanik dalam berbagai pekerjaan dan profesi harus menjadi semakin penting begitu pembagian pekerjaan meluas, sebagai satu alat perantara yang penting antara individu dan masyarakat secara keseluruhannya.
3.      Evolusi Sosial
Durkheim melihat dasar integrasi sosial yang sedang mengalami perubahan ke satu bentuk yang baru, dari solidaritas mekanik ke yang organik. Bentuk solidaritas organik yang baru ini yang benar-benar disadarkan pada saling ketergantungan antara “bagian-bagian” yang terspesialisasi, dapat merupakan satu sumber yang lebih menyeluruh, lebih mampu dan lebih dalam untuk integrasi sosial daripada bentuk integrasi mekanik yang lama yang didasarkan terutama pada kesamaan dalam kepercayaan dan nilai.
Kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas mekanik paling kuat perkembangannya  dalam masyrakat primitif yang sederhana. Pembagian kerja dalam masyarakat seperti ini masih rendah, tergantung pada usia dan jenis kelamin.  Lama kelamaan pembagian kerja pada msyarakt primitif ini mulai berkembang dan terspesialisasi. Analisis Durkheim mengenai meningkatnya pembagian kerja dan kompleksitas juga dapat dilihat sebagai model linier.
Berbeda dengan masyarakat barat mereka berkecenderungan terdapat semakin bertambahnya spesialisasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja. Kecenderungan ini memeiliki dampak penting. Yang pertama adala, dia merombak kesadaran kolektif yang memungkinkan berkembangnya individualitas. Ddampak kedua , dia meni ngkatkan solidaritas organik yang diddasrkan pada saling ketergantungan fungsional.
Berikut ini adalah perbandingan antara sifat-sifat  masyarakat yang berdasarkan pada solidaritas mekanik   dan sifat masyarakat yang didasarkan pada solodaritas organik.
Solidaritas mekanik
Solidaritas organik
·         pembagian kerja randah
·         kesadaran kolektif kuat
·         hukum represif dominan
·         individualitas rendah
·         konsensus terhadap pola-pola normatif itu penting
·         ketrlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
·         seacar relatif saling ketergantungan itu rendah
·         bersifat primitif atau pedesaan
·         Pembgaian kerja tinggi
·         Kesadaran kolektif lemah
·         Hukurestitutif dominan
·         Induvidualitas tinggi
·         Konsesnsus pada nilai=nilai abstrak dan umum itu penting
·         Badan-bandan kontrol sosiaL yang menghukum orang yang mnyimpang
·         Saling ketergantungan yang tinggi
·         Bersifat industrial-perkotaan

Dikotomi antara bentuk struktur sosial pramodern dan yang modern tidak hanya dikenal dalam analisa Durkheim. Mungkin sangat mirip dengan distingsi Tonnies yang terkenal itu antara masyarakat gemeischaft dan masyarakat gesellschaft.

D.    ANCAMAN TERHADAP SOLIDARITAS
Dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik, solidaritas social terancam oleh kemungkinan perpecahan kelompok-kelompok kecil yang secara fungsional bersifat otonom dan oleh jenis prilaku menyimpang apa saja yang merusakkan kesadaran kolektif yang kuat. hukuman terhadap penyimpangan merupakan suatu pencegahan terhadap penyimpangan yang akan datang.
Peralihan dari solidaritas mekanik ke yang orgnik tidak selalu merupakan proses yang lancar dan penuh keseimbangan tanpa ketegangan-ketegangan. Karena ikatan social primordial yang lama dalam bidang agama, kekerabatan, dan komunitas dirusak oleh meningkatnya pembagian kerja, mungkin ada ikatan-ikatan social lain yang tidak berhasil menggantikannya.
1.      Sumber-sumber Ketegangan dalam Masyarakat Organik yang Komplek.
Dalam masyarakat dengan pembagian kerja yang sangat berkembang serta pola-pola saling ketergantungan yang kompleks, integrasi mungkin dirusakkan oleh koordinasi yang tidak memadai lagi antara orang-orang yang memiliki spesialisasi yang tinggi yang kegiatan-kegiatannya tidak dapat dihubungkan menjadi satu.
Suatu ancaman yang lebih penting lagi terhadap solidaritas organik,berkembang dari heterogenitas dan individualitas yang semakin besar
yang berhubungan dengan pembagian kerja yang tinggi. Dengan heterogenitas yang tinggi, ikatan bersama yang mempersatukan berbagai anggota masyarakat menjadi kendor. Individu mulai mengindentifikasikan dirinya dengan kelompok yang terbatas yang terdapat dalam masyarakat seperti kelompok pekerjaan.
Dengan melihat adanya nilai yang tinggi dalam solidaritas kelompok pekerjaan, melalui kelompok-kelompok itulah individu dapat dihubungkan dengan keteraturan yang lebih besar. Namun, jika solidaritas yang kuat digabungkan dengan melemahnya identifikasi dengan masyarakat yang lebih luas,maka kemungkinan konflik itu ada karena kelompok-kelompok itu mengejar keuntungannya sendiri dengan merugikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.


2.      Integrasi Sosial dan angka bunuh diri
Durkheim sangat terkenal dengan studinya tentang kecenderungan orang untuk melakukan bunuh diri. Dalam bukunya yang kedua, ‘Suicide’ dikemukakannya dengan jelas, hubungan antara pengaruh integrasi sosial terhadap kecenderungan unutk melakukan bunuh diri. Dalam hal ini Durkheim dengan tegas menolak anggapan-anggapan lama tentang penyebab bunuh diri yang disebabkan oleh penyakit kejiiwaan sebagaimana teori psikologi mengatakannya.
Dia juga menolak anggapan Gabriel Tarde, seorang sarjana Perancis yang mengatakan bahawa bunuh diri adalah akibat imitasi. Dia juga menolak teori ras tentang kecenderungan orang melakukan bunuh diri, dan ia juga menolak teori yang menyatakan bahwa orang bunuh diri karena kemiskinan. Selanjutnya  Durkheim menambahkan bahwa jika diselidiki, sebenarnya ada pola yang lebih teratur daripada sebab-sebab serta penjelasan yang diberikan oleh teori terdahulu mengenai bunuh diri.
Berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari banyak negara, dimana ternyata terdapat di negara-negara tertentu yang memiliki angaka bunuh diri yang tidak berbeda dari waktu ke waktu akan tetapi berbeda dari satu negara dibandingkan dengan negara lain. Kalau demikian halnya, bunuh diri haruslah bersumber dari keadaan masyarakat yang bersangkutan. Data yang telah yang dikumpulkan Durkheim untuk menunjukan bahwa di negara-negara tertentu terdapat angka bunuh diri yang hampir tidak berbeda dari waktu ke waktu adalah sebagai berikut.
Negara dan Angka Bunuh Diri
Tahun
Perancis
Rusia
Saksen
Bavaria
Denmark
1849
3583
1507
328
189
337
1850
3596
1736
390
250
340
1851
3598
1009
402
260
401
Demikian halnya dengan usaha Durkheim unutk menolak bahwa bunuh diri diakibatkan karena sebeb-sebab psikologis, dia menunjukkan angka-angka bunuh diri dari berbagai negara sebagai berikut.
Negara
Jumlah orang sakit jiwa
Angka bunuh diri
Norwegia
180-1
4-107
Skotlandia
164-2
8-34
Denmark
125-3
1-258
Perancis
99-5
5-100
Data di atas menunjukkan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak membawa pengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Dengan demikian, menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Untuk membuktikan teori ini, Durkheim memusatkan perhatiannya kepada 3 macam kesatuan sosial yang pokok di dalam masyarakat, yaitu kesatuan agama, keluarga, dan kesatuan politik.
Bunuh Diri di Dalam Kesatuan Agama
Durkheim menunjukkan data yang membuktikan bahwa angka laju bunuh diri adalah berbeda diantara penganut agama Protestan dengan penganut agama Katolik dan penganut agama Katolik ortodox.
a.       Negara-negara protestan (Prusia-Saksen-Denmark)
Angka laju bunuh diri : 190 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
b.      Negara-negara Roma Katolik (bercampur sedikit Protestan)
Angka laju bunuh diri : 90 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
c.       Negara-negara Katolik mayoritas (Portugal-Itali)
Angka laju bunuh diri : 58 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
d.      Negara-negara Katolik ortodox
Angka laju bunuh diri : 40 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
            Dengan angka-angka ini, Durkheim membuat kesimpulan bahwa penganut agama-agama Protestan mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan penganut agama Katolik. Ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan angka bunuh diri antara penganut agama Protestan dan Katolik adalah terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh kedua agama tersebut kepada para penganutnya. Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk mencari sendiri hakekat ajaran kitab suci, sedangkan dalam agama Katolik tafsir agama lebih ditentukan oleh para pater (pemuka Gereja).
Agama Protestan menolak ajaran tradisional yang diajarkan oleh pemuka Gereja, akibatnya kepercayaan bersama dari orng-orang Protestan menjadi berkurang sehingga timbul suatu keadaan dimana penganut ajaran Protestan tidak lagi menganut tafsir yang sama, sehingga sekarang ini terdapat banyak gereja Protestan (sekte-sekte). Dengan kata lain, terdapat perbedaan derajat integrasi sosial diantara penganut agama Katolik. Integrasi sosial yang rendah dari penganut agama Protestan itulah yang menyebabkan angka laju bunuh diri dari penganut ajaran agama ini lebih besar kecenderungannya melakukan bunuh diri dibandingkan dengan penganut ajaran Katolik.
            Jadi jelas di sini, Durkheim ingin menekankan bahwa bunuh diri tidak berhubungan dengan ajaran-ajaran agama, tetapi lebih berhubungan dengan derajat integrasi dari pengikut-pengikut suatu ajaran agama sebagai faktor sosial. Sehingga faktor bunuh diri itu, sebenarnya harus dilihat dari sudut kehidupan komunitas atau masyarakat.
Bunuh Diri di Dalam Kesatuan Keluarga
Durkheim menolak anggapan bahwa bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang sudah berkeluarga, dibandingkan dengan mereka yang belum berkeluarga atau tidak kawin. Anggapan itu ditunjukkan dalam angka sebagai berikut: bahwa di Perancis, antara tahun 1878, terdapat sejumlah 16.264 orang yang sudah berkeluarga melakukan bunuh diri, dibandingkan dengan sejumlah 11.709 orang yang belum kawin/ berkeluarga yang melakukan bunuh diri. Dari data ini dapat dsimpulkan bahwa keluarga itu sebenarnya membawa derita sehingga lebih baik hidup sendiri atau tidak berkeluarga. Bukti ini disanggah oleh Durkheim yang menyatakan bahwa jumlah angka bunuh diri dari golongan orang-orang tidak kawin melibatkan anak-anak dalam usia 0-16 tahun yang pada umumnya terintegrasi dengan kuat di dalam keluarga masing-masing.
Durkheim membuat satu penelitian untuk membandingkan angka laju bunuh diri antara orang-orang yang tidak kawin dan usia 16 tahun ke atas. Dari hasil penelitiannya diperoleh angka sebagai berikut.
a.       Sejumlah 173 orang dari tiap satu juta penduduk tedapat orang-orang yang tidak kawin yang melakukan bunuh diri
b.      Sejumlah 154.5 orang dari tiap satu juta penduduk dari orang-orang yang sudah kawin yang melakukan bunuh diri
Dari bukti-bukti ini, Durkheim menunjukkan bahwa angka laju bunuh diri lebih banyak terdapat pada orang-orang yang tidak kawin dibandingkan mereka yang sudah kawin. Hal ini disebabkan, jika Malthus menganjurkan pembatasan kelahiran unutk mengurangi jumlah penduduk, sebaliknya Durkheim mengatakan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga maka akan semakin kecil pula keinginan unutk terus hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar akan semakin mengikat orang kepada kegiatan-kegiatan sosial diantara anggota kesatuan tersebut. Demikian juga dalam hal ini, kesatuan keluarga yang lebih besar umumnya akan lebih terintegrasi. Dalam hal ini, Durkheim menggunakan istilah kepadatan keluarga.
            Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik
Durkheim juga mengungkapkan beberapa data yang mengungkapkan bahwa kecenderungan yang berbeda dalam tingkat bunuh diri antara golongan militer dibandingkan dengan golongan sipil. Durkeim mengungkapkan, dalam keadaan damai golongan militer umumnya lebih besar kecencerungannya unutk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan golongan masyarakat sipil. Sedangkan dalam situasi perang justru lebih sedikit melakukan bunuh diri bila dibanding dengan golongan sipil. Sebabnya menurut Durkheim adalah ketika situasi perang golongan militer lebih terintegrasi dengan baik, dibanding dalam keadaan damai. Sebaliknya, dalam situasi damai, integrasi masyarakat lebih kuat sehinga cenderung lebih rendah angka bunuh dirinya, sedangkan dalam situasi perang golongan masyarakat sipil mengalami penurunan dalam derajat integrasinya sehingga kecenderungan bunuh dirinya semakin besar.
Untuk membuktikan hal ini, Durkheim menggunakan dua momen di Perancis tahun 1848 dimana sedang terjadi pemberontakan di Perancis. Dia mengumpulkan data-data tentang bunuh diri dalam dua momen politikitu dan membandingkannya dengan data-data bunuh diri yang tercatat pada tahun-tahun sebelum peristiwa tersebut. Angka-angka yang diperoleh adalah sebagai berikut.
Tahun 1848, angka bunuh diri adalah sejumlah: 1904
Tahun 1830, angka bunuh diri adalah sejumlah: 1756
Tahun 1829, angka bunuh diri adalah sejumlah: 3647
Tahun 1847, angka bunuh diri adalah sejumlah: 3307
Terlihat dari data bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi/ pergolakan politik dibandingkan dengan masa tidak terjadi pergolakan politik. Demikianlah dengan keseluruhan uraian ini apa yang ingin dikemukakan Durkheim sebenarnya adalah bagaimana besarnya pengaruh faktor-faktor sosial terhadap kehidupan individu. Faktor sosial yang disebut dengan Conscious Collective itu yang menjadi semacam jiwa kelompok yang mengikat individu-individu ke dalam derajat integrsi sehingga ia menolak jalan pikiran psikologistik di dalam mempengaruhi kehidupan individu.
3.      Hubungan antara Orientasi Agama dan Struktur Sosial
Pengalaman agama dan ide tentang yang suci adalah produk kehidupan kolekif, kepercayaan dan ritus agama juga memperkuat ikatan-ikatan social di mana kehidupan kolektif itu bersandar. Dengan kata lain, hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling ketergantungan yang sangat erat. Menurut Durkheim, kepercayaan-kepercayaan totemik (atau tipe-tipe kepercayaan agama lainnya) memperlihatkan kenyataan masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis. Ritus totemik mempersatukan individu dalam kegiatan bersama dalam satu tujuan bersama dan memperkuat kepercayaan, perasaan dan komitmen moral yang merupakan dasar struktur social. Jadi ide tentang yang suci itu diperkuat, karena anggota-onggota kelompok itu berulang kali mengalami kenyataan kelompok itu sendiri. Kenyaan ini dimanifestasikan dalam perasaan-perasaan bersama serta kegiatan bersama yang berhubunganngan dengan pelaksaan ritus agama yang berulang-ulang atau penegasan kembali mengenai kepercayaan mereka yang sama tentang yang suci.
4.      Agama dalam Masyarakat modern
Analisa Durkheim tentang perasaan gembira emosional yang bertalian dengan upacara ritus kolektif mungkin agak tidak pada tempatnya untuk masyarakat masa kini. Dimana,banyak para pemimpin agama bersifat kritis terhadap pelayanan-pelayanan ibadah yang memperlihatkan bentuk ritualisme belaka tanpa mengandung makna atau membangkitkan emosi.
Durkheim mengakui bahwa bentuk agama tradisional pada masa hidupnya tidak memperlihatkan kegairahan hidup yang merupakan sifat agama orang Arunta di Australia. Dia merasa bahwa kurangnya gairah hidup dalam bentuk agama di masa hidupnya karena rendahnya tingkat solidaritas dalam masyarakat, meskipun demikian dia percaya ini akan berubah karena jenis-jenis pengalaman kolektif yang baru melahirkan bentuk-bentuk solidaritas yang baru, dan yang dapat memperkuatnya.
5.      Asal-usul bentuk pengetahuan dalam masyarakat
Menjelang akhir buku The elementary forms, Durkheim memperluas pokok pikiran utamanya dengan mengemukakan bahwa tidak hanya pemikiran agama melainkan juga pengetahuan pada umumnya berlandaskan pada dan mencerminkan dasar social.Misalnya, semua pengetahuan tergantung pada bahasa untuk dapat diteruskan ke generasi berikutnya,dan bahasa adalah produk social, bukan ciptaan individu. Pada tingkat yang lebih dalam Durkheim mengemukakan bahwa kategori-kategori berfikir yang dasar muncul dari kehidupan social dan mencerminkan struktur social. Suatu pemikiran agama dan ilmiah ditentukan oleh kondisi dan mencerminnkan tipe struktur social dimana pemikiran-pemikiran itu muncul.

BAB III
KESIMPULAN

Hasrat besar untuk menemukan konsep-konsep seperti yang dituangkan dalam The Devision of Labor dan The Rules of Sociological Method. Solidaritas sosial dipandang sebagi perpaduan kepercayaan dan perasaan yang lazim dimiliki para anggota suatu masyarakat tertentu. Rangkaian kepercayaan ini membentuk suatu sistem dan memiliki ruh tersendiri. Dalam kajiannya Durkeim mengemukakan pernyataan yang lebih meyakinkan mengenai hakikat fakta-fakta sosial dan juga menetapkan kriteria metode aslinya dan hasilnya adalah sebuah statemen terbaik untuk mengungkapkan metode positivistik yang diterapkan dizamannya.
            Perluasan baru atas ide-ide ini terdapat dalam karya Durkeim, Suiced ( Bunuh Diri), dia membagi bunuh diri menjadi empat macam:
1.      Altruistik (Dimana kasus bunuh diri terjadi demi kepentingan kelompok seperti, seorang pahlawan perang).
2.      Egoistik (karena adanya kekurangan dalm organisasi sosial dan berupaya untuk menjauhkan diri dari kelompok itu)
3.      Anomik,dimana penyesuaian masyarakat terganggu oleh perubahan sosial yang negatif
4.      Fatalistic, tidak terlalu banyak dibahas oleh Durkheim
Menurut Durkeim, masalah sentral dari eksistensi sosial adalah masalah keteraturan, bagaimana mencapai solidaritas sosial dalam masyarakat. Masyarakat dengan tipe yang berbeda-beda mencapai solidaritas sosial dengan cara yang berbeda pula. Pada masyarakat pra-modern, tradisional, dimana manusia hidup dengan cara yang hampir sama satu dengan yang lain. Buntuk solidaritas mekanik ini adalah hasil dari pembagian kerja yang sederhana, mereka memiliki bersama aturan-aturan kolektif yang mengatur bagaimana berperilaku yang dipenuhi tanpa kesukaran yang berarti. Masalah kompleks pada masyarakat modern, ada beragam peranan dan cara untuk hidup sehingga solidaritas sosial menjadi jauh lebih sukar dicapai. Bagi Durkeim ini adalah bahaya utama dari modernitas. Kekuatan yang memisahkan dan membagi-bagi orang begitu besar sehingga disentegrasi sosial adalah ancaman yang nyata. masalahnya adalah bahwa modernitas mendorong terjadinya individualisme.


DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Wardi. 2006. “Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons”. Jakarta: PT Remaja Rosdakarsa.
Jones Pip.2009. “Pengantar Teori-teori Sosial”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Samuel, Hanneman. 2010. Emile Durkheim Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Ciamis: Buku Kepik Ungu.
Siahaan,M Hotman.1986. Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga
Jhonshon, Doyle Paul.1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar