Sabtu, 24 November 2012

Kewargaan Multikultural


Keanekaragaman dalam suatu masyarakat terdapat tingkatan masyarakat yang terpecah-pecah. Timbulnya hal ini mengakibatkan kaum minoritas dan kaum mayoritas semakin banyak yang berselisih mengenai berbagai hal seperti bahasa, otonomi daerah, perwakilan politik, kurikulum pendidikan dan lain-lain.hal ini menjadikan tantangan bagi Negara demokrasi saat ini baik secara moral maupun secara politik yang diakui.
Berbagai masalah timbul dalam budaya minoritas yang selalu dianggap rendah oleh kaum budaya mayoritas. Kaum budaya mayoritas menginginkan agar kaum budaya minoritas menyamakan antara bahasa, ras ,agama, suku bangsa, serta adat istiadat. Sehingga beberapa upayapun dilakukan secara historis untuk melindungi budaya minoritas, dan untuk mengatur konflik potensial antara kebudayaan minoritas dan mayoritas. Emile Durkeim mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yaitu fakta-fakta yang berisikan cara bertindak, berfikir dan merasakan yang mengendalikan individu tersebut.contoh fakta social tersebut antara lain hokum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian dan kaidah-kaidah ekonomi. Fakta-fakta sosial ini mengendalikan dan dapat memeksa individu kalau ia melanggarnya maka ia akan diberi sanksi.

A.          Kewargaan Multikulturalisme Indonesia
Sebagai sebuah terminologi, multikulturalisme merujuk pada sebuah pemikiran yang berbeda yakni realitas dan etika, atau praktik dan ajaran. Sebagai realitas dan praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi diantara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tatanan kehidupan kolektif yang berkelanjutan. Sebagai etika atau ajaran multikulturalisme merujuk pada spirit,etos dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom, seperti etnisitas dan budaya, semestinya dikelola dalam ruang publik.
Dalam masyarakat yang memiliki kesempatan untuk berevolusi melalui perubahan sosial yang panjang dan bersifat gradual, multikulturalisme sering merupakan hasil dari sebuah proses sosial yang terjadi. Sehingga dari ini menghasilkan tatanan kolektif yang memungkinkan disatu pihak keragaman mendapatkan ruang untuk berkembang dan dipihak lain memungkinkan integrasi sosial ditingkat yang lebih tinggi dapat terpelihara.

B.        Hak-hak minoritas yang dituntut oleh kelompok etnis dan bangsa dalam kewargaan multikultural
Kymlicka mengatakan bahwa salah satu mekanisme utama untuk mengakomodasi perbedaan kebudayaan dari minoritas bangsa ini adalah dengan perlindungan atas hak-hak sipil dan politik per orang. Namun demikian, beberapa bentuk perbedaan kebudayaan hanya dapat diakomodasi melalui kebijakan hukum atau konstitusional dan melangkahi batas-batas kewargaan umum. Beberapa bentuk perbedaan kelompok hanya dapat diakomodasi apabila para anggotanya mempunyai hak spesifik kelompok. Dalam membicarakan hak spesifik kelompok, Kymlicka membedakannya dalam tiga bentuk, yaitu:

1. Hak atas pemerintahan sendiri
        Unsur bangsa cenderung menuntut bentuk otonomi politik atau yurisdiksi wilayah agar dapat memastikan pengembangan yang bebas dan penuh dari kebudayaan mereka dan kepentingan rakyatnya. Pada tingkat ekstrem, separatisme oleh suatu bangsa dimungkinkan apabila mereka berpikir bahwa penentuan nasib sendiri itu tidak mungkin di dalam negara yang lebih besar. Dalam Piagam PBB, ditegaskan bahwa semua rakyat mempunyai hak akan penentuan nasib sendiri namun demikian, PBB tidak mendefinisikan sejauh mana kata “rakyat” memiliki arti atau batasan dan telah diberlakukan secara umum bahwa prinsip penentuan nasib sendiri diberikan hanya kepada bangsa jajahan di luar negeri, bukan bagi minoritas kebangsaan dalam satu negara.

2. Hak-hak polietnis
          Beberapa kelompok etnis dan minoritas agama telah menuntut berbagai bentuk pendanaan publik untuk praktik-praktik kebudayaan mereka. Hal itu termasuk pendanaan asosiasi kebudayaan, majalah, dan festival. Mungkin tuntutan yang paling kontroversial dari kelompok etnis adalah pengecualian dari undang-undang dan peraturan yang merugikan mereka, berkaitan dengan praktik-praktik keagamaan mereka. Kebijakan-kebijakan khusus kelompok itu dimaksudkan untuk membantu kelompok etnis dan minoritas agama untuk menyatakan kekhasan budayanya dan harga diri tanpa menghalangi keberhasilan mereka dalam hal ekonomi dan politik dari masyarakat dominan. Seperti halnya hak atas pemerintahan sendiri, hak polietnis itu tidak dipandang sebagai hak sementara karena perbedaan budaya yang dilindungi oleh mereka tidaklah merupakan sesuatu yang ingin dihilangkan.

3. Hak perwakilan khusus
          Terdapat kekhawatiran bahwa bahwa proses politik kurang terwakili atau gagal dalam mencerminkan keragaman penduduk. Para anggota legislatif kebanyakan didominasi oleh kelas menengah dan dalam hal dunia barat, oleh pria berkulit putih. Padahal, proses  yang lebih terwakili seharusnya menyertakan anggota dari minoritas etnis dan ras, perempuan, orang miskin, penyandang cacat, dan lain-lain. Keterwakilan yang kurang dari kelompok-kelompok yang dirugikan merupakan fenomena yang umum.
Ketiga jenis hak spesifik  tersebut dapat dituntut secara bersamaan oleh satu kelompok, sehingga setiap kelompok dapat menuntut lebih dari satu macam hak. Misalnya masyarakat asli dapat menuntut perwakilan khusus di pemerintahan pusat, atas nama kedudukan mereka yang dirugikan dan juga berbagai kekuasaan untuk pemerintahan sendiri, atas nama status mereka sebagai rakyat atau bangsa. Tetapi hak-hak tersebut tidak disandingkan secara bersama-sama, misalnya apabila satu kelompok dapat mencari perwakilan khusus, tetapi tidak mempunyai dasar untuk hak-hak pemerintahan sendiri atau hak polietnis.

       C.  Konsep Hidup Bersama dalam Suatu Etnik Kewargaan Multikultural
Dunia kontemporer dengan globalisasi mempuyai fragmentasi yang menyediakan multikulturalisme yang tidak terbantahkan bagi seluruh masyarakat. Karena dalam perbedaan-perbedaannya, manusia-manusia yang berbeda berhubungan satu sama lain. Dalam multikulturalisme antara yang satu dengan yang lain harus saling menghormati, seperti halnya di Indonesia dalam kehidupan yang sangat plural dari berbagai aspeknya.
Perbedaan-perbedaan seperti itu membutuhkan pendekatan-pendekatan multikulturan terhadap etika maupun subjek-subjek lainnya terutama dalam upaya memerangi etnosentrisme dan rasisme yang sering kali merupakan hasil dari kebudayaan-kebudayaan seluruh masyarakat. Memahami orang-orang dari kebudayaan lain tidak berarti bahwa kita setuju dengan mereka melainkan kita harus kritis terhaadap kebiasaan-kebiasaan dari kebudayaan lain. Seperti pendidikan yang menyangkut etik multikultur dalam kehidupan multietnik dan multukultur merupakan suatu keharusan menuju proses terbentuknya gagasan kolektif masyarakat mengenai persatuan Indonesia yang berbhineka. Tanpa adanya etnosentrisme akan mewujud nyata membawa adanya integrasi sosial.


A.    Daftar Pustaka
Hardiman, F Budi. 2002. “Will Kymlica, Kewargaan Multikultural”. Pustaka LP3ES: Jakarta.
Philipus, Ng dan Aini Nurul. 2004. “Sosiologi Politik”. Rajawali Press: Jakarta.
Martono, dkk. 2005. “Etika Multikuktural”. Yayasan Bakti Persatuan: Surzbaya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar