Keanekaragaman
dalam suatu masyarakat terdapat tingkatan masyarakat yang terpecah-pecah.
Timbulnya hal ini mengakibatkan kaum minoritas dan kaum mayoritas semakin
banyak yang berselisih mengenai berbagai hal seperti bahasa, otonomi daerah,
perwakilan politik, kurikulum pendidikan dan lain-lain.hal ini menjadikan
tantangan bagi Negara demokrasi saat ini baik secara moral maupun secara
politik yang diakui.
Berbagai
masalah timbul dalam budaya minoritas yang selalu dianggap rendah oleh kaum
budaya mayoritas. Kaum budaya mayoritas menginginkan agar kaum budaya minoritas
menyamakan antara bahasa, ras ,agama, suku bangsa, serta adat istiadat.
Sehingga beberapa upayapun dilakukan secara historis untuk melindungi budaya
minoritas, dan untuk mengatur konflik potensial antara kebudayaan minoritas dan
mayoritas. Emile Durkeim mengatakan
bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yaitu
fakta-fakta yang berisikan cara bertindak, berfikir dan merasakan yang
mengendalikan individu tersebut.contoh fakta social tersebut antara lain hokum,
moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian dan kaidah-kaidah
ekonomi. Fakta-fakta sosial ini mengendalikan dan dapat memeksa individu kalau
ia melanggarnya maka ia akan diberi sanksi.
A. Kewargaan Multikulturalisme Indonesia
A. Kewargaan Multikulturalisme Indonesia
Sebagai sebuah terminologi, multikulturalisme merujuk
pada sebuah pemikiran yang berbeda yakni realitas dan etika, atau praktik dan
ajaran. Sebagai realitas dan praktik, multikulturalisme dipahami sebagai
representasi yang produktif atas interaksi diantara elemen-elemen sosial yang
beragam dalam sebuah tatanan kehidupan kolektif yang berkelanjutan. Sebagai etika
atau ajaran multikulturalisme merujuk pada spirit,etos dan kepercayaan tentang
bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif
otonom, seperti etnisitas dan budaya, semestinya dikelola dalam ruang publik.
Dalam masyarakat yang memiliki kesempatan untuk berevolusi
melalui perubahan sosial yang panjang dan bersifat gradual, multikulturalisme
sering merupakan hasil dari sebuah proses sosial yang terjadi. Sehingga dari
ini menghasilkan tatanan kolektif yang memungkinkan disatu pihak keragaman
mendapatkan ruang untuk berkembang dan dipihak lain memungkinkan integrasi
sosial ditingkat yang lebih tinggi dapat terpelihara.
B. Hak-hak minoritas yang dituntut oleh kelompok etnis dan bangsa dalam
kewargaan multikultural
Kymlicka mengatakan bahwa salah satu
mekanisme utama untuk mengakomodasi perbedaan kebudayaan dari minoritas bangsa
ini adalah dengan perlindungan atas hak-hak sipil dan politik per orang. Namun
demikian, beberapa bentuk perbedaan kebudayaan hanya dapat diakomodasi melalui
kebijakan hukum atau konstitusional dan melangkahi batas-batas kewargaan umum.
Beberapa bentuk perbedaan kelompok hanya dapat diakomodasi apabila para
anggotanya mempunyai hak spesifik kelompok. Dalam membicarakan hak spesifik
kelompok, Kymlicka membedakannya dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Hak atas
pemerintahan sendiri
Unsur bangsa
cenderung menuntut bentuk otonomi politik atau yurisdiksi wilayah agar dapat
memastikan pengembangan yang bebas dan penuh dari kebudayaan mereka dan
kepentingan rakyatnya. Pada tingkat ekstrem, separatisme oleh suatu bangsa
dimungkinkan apabila mereka berpikir bahwa penentuan nasib sendiri itu tidak
mungkin di dalam negara yang lebih besar. Dalam Piagam PBB, ditegaskan bahwa
semua rakyat mempunyai hak akan penentuan nasib sendiri namun demikian, PBB
tidak mendefinisikan sejauh mana kata “rakyat” memiliki arti atau batasan dan
telah diberlakukan secara umum bahwa prinsip penentuan nasib sendiri diberikan
hanya kepada bangsa jajahan di luar negeri, bukan bagi minoritas kebangsaan
dalam satu negara.
2. Hak-hak
polietnis
Beberapa kelompok etnis dan minoritas agama telah menuntut berbagai bentuk
pendanaan publik untuk praktik-praktik kebudayaan mereka. Hal itu termasuk
pendanaan asosiasi kebudayaan, majalah, dan festival. Mungkin tuntutan yang
paling kontroversial dari kelompok etnis adalah pengecualian dari undang-undang
dan peraturan yang merugikan mereka, berkaitan dengan praktik-praktik keagamaan
mereka. Kebijakan-kebijakan khusus kelompok itu dimaksudkan untuk membantu
kelompok etnis dan minoritas agama untuk menyatakan kekhasan budayanya dan
harga diri tanpa menghalangi keberhasilan mereka dalam hal ekonomi dan politik
dari masyarakat dominan. Seperti halnya hak atas pemerintahan sendiri, hak
polietnis itu tidak dipandang sebagai hak sementara karena perbedaan budaya yang
dilindungi oleh mereka tidaklah merupakan sesuatu yang ingin dihilangkan.
3. Hak
perwakilan khusus
Terdapat
kekhawatiran bahwa bahwa proses politik kurang terwakili atau gagal dalam
mencerminkan keragaman penduduk. Para anggota legislatif kebanyakan didominasi
oleh kelas menengah dan dalam hal dunia barat, oleh pria berkulit putih.
Padahal, proses yang lebih terwakili seharusnya menyertakan anggota dari
minoritas etnis dan ras, perempuan, orang miskin, penyandang cacat, dan
lain-lain. Keterwakilan yang kurang dari kelompok-kelompok yang dirugikan
merupakan fenomena yang umum.
Ketiga jenis
hak spesifik tersebut dapat dituntut secara bersamaan oleh satu kelompok,
sehingga setiap kelompok dapat menuntut lebih dari satu macam hak. Misalnya
masyarakat asli dapat menuntut perwakilan khusus di pemerintahan pusat, atas
nama kedudukan mereka yang dirugikan dan juga berbagai kekuasaan untuk
pemerintahan sendiri, atas nama status mereka sebagai rakyat atau bangsa.
Tetapi hak-hak tersebut tidak disandingkan secara bersama-sama, misalnya
apabila satu kelompok dapat mencari perwakilan khusus, tetapi tidak mempunyai
dasar untuk hak-hak pemerintahan sendiri atau hak polietnis.
C. Konsep Hidup Bersama dalam Suatu Etnik Kewargaan
Multikultural
Dunia kontemporer dengan
globalisasi mempuyai fragmentasi yang menyediakan multikulturalisme yang tidak
terbantahkan bagi seluruh masyarakat. Karena dalam perbedaan-perbedaannya,
manusia-manusia yang berbeda berhubungan satu sama lain. Dalam
multikulturalisme antara yang satu dengan yang lain harus saling menghormati,
seperti halnya di Indonesia dalam kehidupan yang sangat plural dari berbagai
aspeknya.
Perbedaan-perbedaan seperti itu
membutuhkan pendekatan-pendekatan multikulturan terhadap etika maupun
subjek-subjek lainnya terutama dalam upaya memerangi etnosentrisme dan rasisme
yang sering kali merupakan hasil dari kebudayaan-kebudayaan seluruh masyarakat.
Memahami orang-orang dari kebudayaan lain tidak berarti bahwa kita setuju
dengan mereka melainkan kita harus kritis terhaadap kebiasaan-kebiasaan dari
kebudayaan lain. Seperti pendidikan yang menyangkut etik multikultur dalam
kehidupan multietnik dan multukultur merupakan suatu keharusan menuju proses
terbentuknya gagasan kolektif masyarakat mengenai persatuan Indonesia yang
berbhineka. Tanpa adanya etnosentrisme akan mewujud nyata membawa adanya
integrasi sosial.
A. Daftar Pustaka
Hardiman,
F Budi. 2002. “Will Kymlica, Kewargaan
Multikultural”. Pustaka LP3ES: Jakarta.
Philipus,
Ng dan Aini Nurul. 2004. “Sosiologi
Politik”. Rajawali Press: Jakarta.
Martono, dkk. 2005.
“Etika Multikuktural”. Yayasan Bakti Persatuan: Surzbaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar