A.
PROFIL
DAN RIWAYAT HIDUP EMILE DURKHEIM
Emile Durkheim lahir di Epinal propinsi Lorraine, Perancis Timur pada tanggal 15 April 1858. Ia
anak seorang rabi Yahudi. Namun Durkheim tidak mengikuti tradisi orang tuanya
untuk menjadi rabi. Ia memilih menjadi Katholik, tetapi kemudian memilih untuk
tidak tahu menahu tentang Katholikisme. Ia lebih menaruh perhatian pada masalah
moralitas, terutama moralitas kolektif. Durkheim termasuk dalam tokoh Sosiologi
yang memperbaiki metode berpikir Sosiologis yang tidak hanya berdasarkan
pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi Sosiologi akan menjadi suatu ilmu
pengetahuan yang benar apabila mengangkat gejala sosial sebagai fakta-fakta
yang dapat diobservasi.
Pada usia 21
tahun Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure setelah sebelumnya gagal
dalam ujian masuk. Di Universitas tersebut dia merupakan mahasiswa yang serius
dan kritis, kemudian pemikiran Durkeim dipengaruhi oleh dua orang profesor di
Universitasnya itu (Fustel De Coulanges dan Emile Boutroux).
Setelah
menamatkan pendidikan di Ecole Normale Superieure, Durkheim mengajar filsafat
di salah satu sekolah menengah atas (Lycees Louis-Le-Grand) di Paris pada tahun
1882 sampai 1887. Sejak awal karir mengajarnya, Durkheim bertekad untuk
menekankan pengajaran praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat
tradisional yang menurut dia tidak relevan dengan masalah social dan moral yang
gawat yang sedang melanda pada saat itu.
a. Melembagakan
Sosiologi sebagai Satu Disiplin Ilmu
Pada tahun 1887
,ketika Durkheim berusia 29 tahun disamping prestasinya sebagai pengajar dan
pembuat artikel dia juga berhasil mencetuskan sosiologi sebagai disiplin ilmu
yang sah di bidang akademik karena prestasinya itu dia diharrgai dan diangkat
sebagai ahli ilmu sosial di fakultas pendidikan dan fakultas ilmu sosial di
universitas Bourdeaux. Tercantumnya ilmu social secara eksplisit di antara mata
pelajaran yang diasuhnya merupakan pengakuan akan komitmennya serta prestasinya
sebagai ahli ilmu social.
Tahun 1893
Durkheim menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa perancis yaitu The Division
of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa Latin tentang Montesqouieu. Kemudian
tahun 1895 menerbitkan buku keduanya yaitu The Rules of Sociological Method.
Tahun 1896 diangkat menjadi professor penuh untuk pertama kalinya di Prancis
dalam bidang ilmu sosial. Tahun 1897 menerbitkan buku ketiganya yang berjudul
Suicide (Le-Suicide) dan mendirikan L’Anée Sociologique (jurnal ilmiah pertama
tentang Sosiologi). Tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne dan tahun 1906
dipromosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan. Enam tahun keudian
(1912) menerbitkan karya keempatnya yaitu The Elementary Forms of Religious
Life. Satu tahun setelahnya (1913) kedudukannya diubah menjadi professor ilmu
Pendidikan dan Sosiologi. Pada tahun 1913 Sosiologi resmi didirikan dalam
lembaga pendidikan yang sangat terhormat di Prancis.
Tahun 1915 Durkheim
mendapat musibah, putranya (Andre) cedera parah dan meninggal. Pada 15 November
1917 (pada usia 59 tahun) Durkheim meninggal sesudah menerima penghormatan dari
orang-orang semasanya untuk karirnya yang produktif dan bermakna, serta setelah
dia mendirikan dasar Sosiologi ilmiah.
b. Pengaruh
Sosial dan Intelektual terhadap Durkheim
Perhatian
Durkheim sepanjang hidupnya terhadap solidaritas dan integrasi sosial muncul
antara lain karena keadaan keteraturan sosial yang goyah di masa Republik
Ketiga. Durkheim berusaha memahami dasar-dasar munculnya keteratran social, ia
melihat kesulitan-kesulitan selama periode peralihan dimana dia hidup, tetapi
ia juga optimis bahwa pengetahuan ilmiah tentang hukum masyarakat dapat
menyumbang terkonsolidasinya dasar moral keteraturan social pada saat itu.
B.
KENYATAAN
FAKTA SOSIAL
Untuk
memisahkan sosiologi dengan filsafat dan memberinya kejelasan serta identitas
tersendiri, Durkheim(1895/1982) menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi
haruslah berupa fakta sosial. Hal yang penting dalam pemisah sosiologi dan
filsafat adalah ide bahwa fakta sosial dianggap sebagai sesuatu dan dipelajari
secara empiris. Artinya bahwa fakta sosial mesti dipelajari I dengan perolehan
data dari luar pikiran kita melaluiobservasi dan eksperimen.
“fakta
sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku
pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal atau bisa juga dikatakan
bahwa fakta sosial atau seluruh cara bertindak yang umum yang dipakai suatu
masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manivestasi-manivestasi
individual”.
(Durkheim,1985/1982: 13)
Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial
tidak bisa direduksi kepada individu, namun mesti di pelajari sebagai realitas
mereka. Durkheim menyebut fakta sosial dengan istilah latin sui generis, yang
berarti unik. Durkheim menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bahwa fakta
sosial memiliki karakter unik yang tidak bisa direduksi menjadi sebatas
kesadaran individu.
Durkheim memberikan beberapa contoh
tentang fakta sosial, diantaranya bahasa karena bahasa merupakan contoh yang
paling mudah dipahami. Pertama karena
bahasa adalah sesuatu yang mesti
dipelajari secara empiris. Kedua,
bahasa adalah sesuatu yang berada diluar individu. Meskipun individu
menggunakan bahasa, namun bahasa tidak bisa didefinisikan atau diciptakan oleh
individu. Ketiga, bahasa memaksa
individu. Bahasa yang kita pakai membuat sesuatu benar-benar sulit untuk dikatakan. Terakhir, perubahan dalam bahasa hanya bisa dipelajari melalui
fakta sosial lain dan tidak bisa hanya dengan keinginan individu saja.
Fakta Sosial Material dan
Nonmaterial
Durkheim membedakan
fakta sosial material dan non material. Fakta sosial material seperti gaya
arsitektur, bentuk teknologi, hukum dan perundang-undangan, relatif mudah
dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Misalnya, aturan berada
diluar individu dan memaksa mereka. Lebih penting lagi fakta sosial material
tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat
yang sama-sama berada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah
yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial.
Durkheim melihat fakta sosial berada di
sepanjang kontinum hal-hal yang material. Sosiolog sering memulai studinya
dengan fokus pada fakta sosial material, yang dapat dipahami secara empiris,
untuk memahami fakta sosial nonmaterial yang merupakan fokus sebenarnya dari
studi yang dia lakukan. Hal yang paling material misalnya tingkat kepadatan
populasi, saluran komunikasi, dan susunan perumahan. Durkheim menyebutnya
dengan fakta morfologis dan semua itu termasuk hal yang paling penting dalam
buku pertamanya” the Divinition of Labor. Pada level lain fakta sosial material
itu bisa berupa komponen structural(birokrasi, misal) yang bercampur dengan
komponen morfologis(kepadata penduduk dalam susunan perumahan dan jalur
komunikasi mereka) dan fakta sosial nonmaterial( missal norma birokrasi)
C.
SOLIDARITAS
DAN TIPE STRUKTUR SOSIAL
Solidaritas social merupakan istilah
yang erat hubungannya dengan integrasi sosial dan kelompak sosial. Singkatnya
solidaritas menunjuk pada suatu keadaan
hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pangalaman emosional bersama.
1.
Solidaritas
Mekanik dan Organik
Solidaritas
mekanik dan organik merupakan sumbangan Durkheim yang paling terkenal. Solidritas
mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama (collective conciousness/conscience ), yang menunjuk pada
“totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen yang rata-rata ada
pada masyarakat yang sama itu”. Itu
merupakan suatu solidaritas yang tegantung pada individu-induvidu yang memiliki
sifat-sifat yang sama dan menganut keprcayaan dan pola normatif yang sama pula.
Bagi Durkheim indikator yang paling
jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum
yang bersifat menekan (repressive).
Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai
jumlah kerugian secara obyaktif yang menimpa masyarakt, juga tidak merupakan
pertimbangan yang diberikan untuk menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya.
Sebaliknya hukuman itu mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang
muncul tidak terlalu banyak oleh sifat orang yang menyimpang
Ciri khas yang penting dari solidaritas
mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas
yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan sebagainya. Homogenitas hanya
mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim.
Berlawanan dengan itu, solidaritas
organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu
didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Durkheim
memepertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya
hukum yang bersifat memulihkan (restutive)
daripada yang bersifat represif.
Tujuan kedua tipe hukum itu sangat
berbeda. Hukum represif mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat,
hukum restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan
yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompo-kelompok dalam masyarakat.
Karena itu sifat hukuman yang diberiakn kepada seorang penjahat berbeda dalam
kedua hukum itu.
Dalam sistem organik, kemarah kolektif
yang timbul kareana perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya, karena
kesadaran kolektif tidak begitu kuat. Sebagai hasilnya, hukuman lebih bersifat
rasional, disesuaikan dengan parahnya pelanggaran dan bermaksud untuk
memulihkan atau melindungi pihak atau yang dirugikan aatua menjamin bertahannya
pola saling ketergantungan yang kompleks itu, yang mendasari solidaritas
sosial.
2.
Kesadaran
Kolektif dalam Masyarakat
Pertumbuhan dalam pembagian kerja (dan
solidaritas sebagai hasilnya) tidak menghancurkan kesadaran kolektif, dia hanya
mengurangi arti pentingnya dalam pengaturan terperinci dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini memberikan lebih banyak ruang untuk otonomi individu dan
heterogenitas sosial, tetapi tidak harus membuat individu menjadi terpisah sama
sekali dari ikatan sosial yang didasarkan pada konsensus moral.
Durkheim menghubungkan pengaruh yang
terus-menerus dari kesadaran kolektif ini dengan individualisme yang semakin
meningkat dalam masyarakat-masyarakat organik. Kesadaran kolektif juga ada
dalam bentuk yang lebih terbatas dalam berbagai kelompok khusus dalam
masyarakat. Dalam solidaritas mekanik yang dinyatakan dalam kelompok agama, ada
sejumlah ikatan sosial yang bersifat primordial “mekanik”, seperti kekerabatan,
kesukuan, dan komunitas. Ikatan-ikatan ini jelas tidak dapat mempersatukan
semua anggota suatu masyarakat yang kompleks, tetapi merupakan sumber-sumber
penting untuk solidaritas kelompok-kelompok inti yang tidak terbilang jumlahnya
yang mempersatukan masyarakat seluruhnya.
Durkheim menekankan pentingnya kesadaran
kolektif bersama yang mungkin ada dalam berbagai kelompok pekerjaan dan
profesi. Keserupaan dalam kegiatan dan kepentingan pekerjaan memperlihatkan
suatu homogenitas internal yang memungkinkan berkembangnya kebiasaan,
kepercayaan, perasaan, dan prinsip moral atau kode etik bersama. Durkheim
merasa bahwa solidaritas mekanik dalam berbagai pekerjaan dan profesi harus
menjadi semakin penting begitu pembagian pekerjaan meluas, sebagai satu alat
perantara yang penting antara individu dan masyarakat secara keseluruhannya.
3.
Evolusi
Sosial
Durkheim melihat dasar integrasi sosial
yang sedang mengalami perubahan ke satu bentuk yang baru, dari solidaritas
mekanik ke yang organik. Bentuk solidaritas organik yang baru ini yang
benar-benar disadarkan pada saling ketergantungan antara “bagian-bagian” yang
terspesialisasi, dapat merupakan satu sumber yang lebih menyeluruh, lebih mampu
dan lebih dalam untuk integrasi sosial daripada bentuk integrasi mekanik yang
lama yang didasarkan terutama pada kesamaan dalam kepercayaan dan nilai.
Kesadaran kolektif yang mendasari
solidaritas mekanik paling kuat perkembangannya
dalam masyrakat primitif yang sederhana. Pembagian kerja dalam
masyarakat seperti ini masih rendah, tergantung pada usia dan jenis
kelamin. Lama kelamaan pembagian kerja
pada msyarakt primitif ini mulai berkembang dan terspesialisasi. Analisis
Durkheim mengenai meningkatnya pembagian kerja dan kompleksitas juga dapat
dilihat sebagai model linier.
Berbeda dengan masyarakat barat mereka
berkecenderungan terdapat semakin bertambahnya spesialisasi dan kompleksitas
dalam pembagian kerja. Kecenderungan ini memeiliki dampak penting. Yang pertama
adala, dia merombak kesadaran kolektif yang memungkinkan berkembangnya
individualitas. Ddampak kedua , dia meni ngkatkan solidaritas organik yang
diddasrkan pada saling ketergantungan fungsional.
Berikut ini adalah perbandingan antara
sifat-sifat masyarakat yang berdasarkan
pada solidaritas mekanik dan sifat
masyarakat yang didasarkan pada solodaritas organik.
Solidaritas mekanik
|
Solidaritas organik
|
·
pembagian kerja randah
·
kesadaran kolektif kuat
·
hukum represif dominan
·
individualitas rendah
·
konsensus terhadap pola-pola normatif itu penting
·
ketrlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
·
seacar relatif saling ketergantungan itu rendah
·
bersifat primitif atau pedesaan
|
·
Pembgaian kerja tinggi
·
Kesadaran kolektif lemah
·
Hukurestitutif dominan
·
Induvidualitas tinggi
·
Konsesnsus pada nilai=nilai abstrak dan umum itu penting
·
Badan-bandan kontrol sosiaL yang menghukum orang yang mnyimpang
·
Saling ketergantungan yang tinggi
·
Bersifat industrial-perkotaan
|
Dikotomi antara bentuk struktur sosial
pramodern dan yang modern tidak hanya dikenal dalam analisa Durkheim. Mungkin
sangat mirip dengan distingsi Tonnies yang terkenal itu antara masyarakat gemeischaft dan masyarakat gesellschaft.
D.
ANCAMAN TERHADAP SOLIDARITAS
Dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada
solidaritas mekanik, solidaritas social terancam oleh kemungkinan perpecahan
kelompok-kelompok kecil yang secara fungsional bersifat otonom dan oleh jenis
prilaku menyimpang apa saja yang merusakkan kesadaran kolektif yang kuat. hukuman
terhadap penyimpangan merupakan suatu pencegahan terhadap penyimpangan yang
akan datang.
Peralihan dari solidaritas mekanik ke yang orgnik
tidak selalu merupakan proses yang lancar dan penuh keseimbangan tanpa
ketegangan-ketegangan. Karena ikatan social primordial yang lama dalam bidang
agama, kekerabatan, dan komunitas dirusak oleh meningkatnya pembagian kerja,
mungkin ada ikatan-ikatan social lain yang tidak berhasil menggantikannya.
1.
Sumber-sumber Ketegangan dalam
Masyarakat Organik yang Komplek.
Dalam masyarakat dengan pembagian kerja yang sangat
berkembang serta pola-pola saling ketergantungan yang kompleks, integrasi
mungkin dirusakkan oleh koordinasi yang tidak memadai lagi antara orang-orang
yang memiliki spesialisasi yang tinggi yang kegiatan-kegiatannya tidak dapat
dihubungkan menjadi satu.
Suatu
ancaman yang lebih penting lagi terhadap solidaritas organik,berkembang dari
heterogenitas dan individualitas yang semakin besar
yang
berhubungan dengan pembagian kerja yang tinggi. Dengan heterogenitas yang
tinggi, ikatan bersama yang mempersatukan berbagai anggota masyarakat menjadi
kendor. Individu mulai mengindentifikasikan dirinya dengan kelompok yang
terbatas yang terdapat dalam masyarakat seperti kelompok pekerjaan.
Dengan
melihat adanya nilai yang tinggi dalam solidaritas kelompok pekerjaan, melalui
kelompok-kelompok itulah individu dapat dihubungkan dengan keteraturan yang
lebih besar. Namun, jika solidaritas yang kuat digabungkan dengan melemahnya
identifikasi dengan masyarakat yang lebih luas,maka kemungkinan konflik itu ada
karena kelompok-kelompok itu mengejar keuntungannya sendiri dengan merugikan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
2.
Integrasi Sosial dan angka bunuh diri
Durkheim sangat terkenal dengan studinya tentang
kecenderungan orang untuk melakukan bunuh diri. Dalam bukunya yang kedua,
‘Suicide’ dikemukakannya dengan jelas, hubungan antara pengaruh integrasi
sosial terhadap kecenderungan unutk melakukan bunuh diri. Dalam hal ini
Durkheim dengan tegas menolak anggapan-anggapan lama tentang penyebab bunuh
diri yang disebabkan oleh penyakit kejiiwaan sebagaimana teori psikologi
mengatakannya.
Dia juga menolak anggapan Gabriel Tarde, seorang
sarjana Perancis yang mengatakan bahawa bunuh diri adalah akibat imitasi. Dia
juga menolak teori ras tentang kecenderungan orang melakukan bunuh diri, dan ia
juga menolak teori yang menyatakan bahwa orang bunuh diri karena kemiskinan.
Selanjutnya Durkheim menambahkan bahwa
jika diselidiki, sebenarnya ada pola yang lebih teratur daripada sebab-sebab
serta penjelasan yang diberikan oleh teori terdahulu mengenai bunuh diri.
Berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari banyak
negara, dimana ternyata terdapat di negara-negara tertentu yang memiliki angaka
bunuh diri yang tidak berbeda dari waktu ke waktu akan tetapi berbeda dari satu
negara dibandingkan dengan negara lain. Kalau demikian halnya, bunuh diri
haruslah bersumber dari keadaan masyarakat yang bersangkutan. Data yang telah yang
dikumpulkan Durkheim untuk menunjukan bahwa di negara-negara tertentu terdapat
angka bunuh diri yang hampir tidak berbeda dari waktu ke waktu adalah sebagai
berikut.
Negara
dan Angka Bunuh Diri
Tahun
|
Perancis
|
Rusia
|
Saksen
|
Bavaria
|
Denmark
|
1849
|
3583
|
1507
|
328
|
189
|
337
|
1850
|
3596
|
1736
|
390
|
250
|
340
|
1851
|
3598
|
1009
|
402
|
260
|
401
|
Demikian halnya dengan usaha Durkheim unutk menolak
bahwa bunuh diri diakibatkan karena sebeb-sebab psikologis, dia menunjukkan
angka-angka bunuh diri dari berbagai negara sebagai berikut.
Negara
|
Jumlah orang sakit jiwa
|
Angka bunuh diri
|
Norwegia
|
180-1
|
4-107
|
Skotlandia
|
164-2
|
8-34
|
Denmark
|
125-3
|
1-258
|
Perancis
|
99-5
|
5-100
|
Data di atas menunjukkan bahwa gejala-gejala
psikologis sebenarnya tidak membawa pengaruh terhadap kecenderungan untuk
melakukan bunuh diri. Dengan demikian, menurut Durkheim peristiwa-peristiwa
bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang
karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur
sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Untuk
membuktikan teori ini, Durkheim memusatkan perhatiannya kepada 3 macam kesatuan
sosial yang pokok di dalam masyarakat, yaitu kesatuan agama, keluarga, dan
kesatuan politik.
Bunuh Diri di Dalam Kesatuan Agama
Durkheim menunjukkan data yang membuktikan bahwa
angka laju bunuh diri adalah berbeda diantara penganut agama Protestan dengan
penganut agama Katolik dan penganut agama Katolik ortodox.
a. Negara-negara
protestan (Prusia-Saksen-Denmark)
Angka
laju bunuh diri : 190 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
b. Negara-negara
Roma Katolik (bercampur sedikit Protestan)
Angka
laju bunuh diri : 90 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
c. Negara-negara
Katolik mayoritas (Portugal-Itali)
Angka
laju bunuh diri : 58 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
d. Negara-negara
Katolik ortodox
Angka
laju bunuh diri : 40 orang untuk tiap-tiap satu juta orang
Dengan angka-angka ini, Durkheim
membuat kesimpulan bahwa penganut agama-agama Protestan mempunyai kecenderungan
lebih besar untuk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan penganut agama
Katolik. Ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan angka bunuh diri antara
penganut agama Protestan dan Katolik adalah terletak di dalam perbedaan
kebebasan yang diberikan oleh kedua agama tersebut kepada para penganutnya.
Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk
mencari sendiri hakekat ajaran kitab suci, sedangkan dalam agama Katolik tafsir
agama lebih ditentukan oleh para pater (pemuka Gereja).
Agama Protestan menolak ajaran tradisional yang
diajarkan oleh pemuka Gereja, akibatnya kepercayaan bersama dari orng-orang
Protestan menjadi berkurang sehingga timbul suatu keadaan dimana penganut
ajaran Protestan tidak lagi menganut tafsir yang sama, sehingga sekarang ini
terdapat banyak gereja Protestan (sekte-sekte). Dengan kata lain, terdapat
perbedaan derajat integrasi sosial diantara penganut agama Katolik. Integrasi
sosial yang rendah dari penganut agama Protestan itulah yang menyebabkan angka
laju bunuh diri dari penganut ajaran agama ini lebih besar kecenderungannya
melakukan bunuh diri dibandingkan dengan penganut ajaran Katolik.
Jadi jelas di sini, Durkheim ingin
menekankan bahwa bunuh diri tidak berhubungan dengan ajaran-ajaran agama,
tetapi lebih berhubungan dengan derajat integrasi dari pengikut-pengikut suatu
ajaran agama sebagai faktor sosial. Sehingga faktor bunuh diri itu, sebenarnya
harus dilihat dari sudut kehidupan komunitas atau masyarakat.
Bunuh
Diri di Dalam Kesatuan Keluarga
Durkheim menolak anggapan bahwa bunuh diri lebih
banyak dilakukan oleh orang-orang yang sudah berkeluarga, dibandingkan dengan
mereka yang belum berkeluarga atau tidak kawin. Anggapan itu ditunjukkan dalam
angka sebagai berikut: bahwa di Perancis, antara tahun 1878, terdapat sejumlah
16.264 orang yang sudah berkeluarga melakukan bunuh diri, dibandingkan dengan
sejumlah 11.709 orang yang belum kawin/ berkeluarga yang melakukan bunuh diri.
Dari data ini dapat dsimpulkan bahwa keluarga itu sebenarnya membawa derita
sehingga lebih baik hidup sendiri atau tidak berkeluarga. Bukti ini disanggah
oleh Durkheim yang menyatakan bahwa jumlah angka bunuh diri dari golongan
orang-orang tidak kawin melibatkan anak-anak dalam usia 0-16 tahun yang pada
umumnya terintegrasi dengan kuat di dalam keluarga masing-masing.
Durkheim membuat satu penelitian untuk membandingkan
angka laju bunuh diri antara orang-orang yang tidak kawin dan usia 16 tahun ke
atas. Dari hasil penelitiannya diperoleh angka sebagai berikut.
a. Sejumlah
173 orang dari tiap satu juta penduduk tedapat orang-orang yang tidak kawin
yang melakukan bunuh diri
b. Sejumlah
154.5 orang dari tiap satu juta penduduk dari orang-orang yang sudah kawin yang
melakukan bunuh diri
Dari bukti-bukti ini, Durkheim menunjukkan
bahwa angka laju bunuh diri lebih banyak terdapat pada orang-orang yang tidak
kawin dibandingkan mereka yang sudah kawin. Hal ini disebabkan, jika Malthus
menganjurkan pembatasan kelahiran unutk mengurangi jumlah penduduk, sebaliknya
Durkheim mengatakan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga maka
akan semakin kecil pula keinginan unutk terus hidup. Kesatuan sosial yang
semakin besar akan semakin mengikat orang kepada kegiatan-kegiatan sosial
diantara anggota kesatuan tersebut. Demikian juga dalam hal ini, kesatuan
keluarga yang lebih besar umumnya akan lebih terintegrasi. Dalam hal ini,
Durkheim menggunakan istilah kepadatan keluarga.
Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik
Durkheim juga mengungkapkan beberapa data yang
mengungkapkan bahwa kecenderungan yang berbeda dalam tingkat bunuh diri antara
golongan militer dibandingkan dengan golongan sipil. Durkeim mengungkapkan,
dalam keadaan damai golongan militer umumnya lebih besar kecencerungannya unutk
melakukan bunuh diri dibandingkan dengan golongan masyarakat sipil. Sedangkan
dalam situasi perang justru lebih sedikit melakukan bunuh diri bila dibanding
dengan golongan sipil. Sebabnya menurut Durkheim adalah ketika situasi perang
golongan militer lebih terintegrasi dengan baik, dibanding dalam keadaan damai.
Sebaliknya, dalam situasi damai, integrasi masyarakat lebih kuat sehinga
cenderung lebih rendah angka bunuh dirinya, sedangkan dalam situasi perang
golongan masyarakat sipil mengalami penurunan dalam derajat integrasinya
sehingga kecenderungan bunuh dirinya semakin besar.
Untuk membuktikan hal ini, Durkheim menggunakan dua momen di Perancis
tahun 1848 dimana sedang terjadi pemberontakan di Perancis. Dia mengumpulkan
data-data tentang bunuh diri dalam dua momen politikitu dan membandingkannya
dengan data-data bunuh diri yang tercatat pada tahun-tahun sebelum peristiwa
tersebut. Angka-angka yang diperoleh adalah sebagai berikut.
Tahun 1848, angka
bunuh diri adalah sejumlah: 1904
Tahun 1830, angka
bunuh diri adalah sejumlah: 1756
Tahun 1829, angka
bunuh diri adalah sejumlah: 3647
Tahun 1847, angka
bunuh diri adalah sejumlah: 3307
Terlihat dari data
bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi/ pergolakan
politik dibandingkan dengan masa tidak terjadi pergolakan politik. Demikianlah
dengan keseluruhan uraian ini apa yang ingin dikemukakan Durkheim sebenarnya
adalah bagaimana besarnya pengaruh faktor-faktor sosial terhadap kehidupan
individu. Faktor sosial yang disebut dengan Conscious Collective itu yang
menjadi semacam jiwa kelompok yang mengikat individu-individu ke dalam derajat
integrsi sehingga ia menolak jalan pikiran psikologistik di dalam mempengaruhi
kehidupan individu.
3.
Hubungan antara Orientasi Agama dan
Struktur Sosial
Pengalaman agama dan ide tentang
yang suci adalah produk kehidupan kolekif, kepercayaan dan ritus agama juga
memperkuat ikatan-ikatan social di mana kehidupan kolektif itu bersandar.
Dengan kata lain, hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling
ketergantungan yang sangat erat. Menurut Durkheim, kepercayaan-kepercayaan
totemik (atau tipe-tipe kepercayaan agama lainnya) memperlihatkan kenyataan
masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis. Ritus totemik mempersatukan
individu dalam kegiatan bersama dalam satu tujuan bersama dan memperkuat
kepercayaan, perasaan dan komitmen moral yang merupakan dasar struktur social.
Jadi ide tentang yang suci itu diperkuat, karena anggota-onggota kelompok itu berulang
kali mengalami kenyataan kelompok itu sendiri. Kenyaan ini dimanifestasikan
dalam perasaan-perasaan bersama serta kegiatan bersama yang berhubunganngan
dengan pelaksaan ritus agama yang berulang-ulang atau penegasan kembali
mengenai kepercayaan mereka yang sama tentang yang suci.
4. Agama dalam Masyarakat modern
Analisa Durkheim tentang perasaan gembira emosional
yang bertalian dengan upacara ritus kolektif mungkin agak tidak pada tempatnya
untuk masyarakat masa kini. Dimana,banyak para pemimpin agama bersifat kritis
terhadap pelayanan-pelayanan ibadah yang memperlihatkan bentuk ritualisme belaka
tanpa mengandung makna atau membangkitkan emosi.
Durkheim mengakui bahwa bentuk agama tradisional
pada masa hidupnya tidak memperlihatkan kegairahan hidup yang merupakan sifat
agama orang Arunta di Australia. Dia merasa bahwa kurangnya gairah hidup dalam
bentuk agama di masa hidupnya karena rendahnya tingkat solidaritas dalam
masyarakat, meskipun demikian dia percaya ini akan berubah karena jenis-jenis
pengalaman kolektif yang baru melahirkan bentuk-bentuk solidaritas yang baru,
dan yang dapat memperkuatnya.
5. Asal-usul bentuk pengetahuan dalam masyarakat
Menjelang akhir buku The elementary forms, Durkheim memperluas pokok
pikiran utamanya dengan mengemukakan bahwa tidak hanya pemikiran agama melainkan
juga pengetahuan pada umumnya berlandaskan pada dan mencerminkan dasar
social.Misalnya, semua pengetahuan tergantung pada bahasa untuk dapat
diteruskan ke generasi berikutnya,dan bahasa adalah produk social, bukan
ciptaan individu. Pada tingkat yang lebih dalam Durkheim mengemukakan bahwa
kategori-kategori berfikir yang dasar muncul dari kehidupan social dan
mencerminkan struktur social. Suatu pemikiran agama dan ilmiah ditentukan oleh
kondisi dan mencerminnkan tipe struktur social dimana pemikiran-pemikiran itu
muncul.
BAB
III
KESIMPULAN
Hasrat
besar untuk menemukan konsep-konsep seperti yang dituangkan dalam The Devision of Labor dan The Rules of Sociological Method. Solidaritas
sosial dipandang sebagi perpaduan kepercayaan dan perasaan yang lazim dimiliki
para anggota suatu masyarakat tertentu. Rangkaian kepercayaan ini membentuk
suatu sistem dan memiliki ruh tersendiri. Dalam kajiannya Durkeim mengemukakan
pernyataan yang lebih meyakinkan mengenai hakikat fakta-fakta sosial dan juga
menetapkan kriteria metode aslinya dan hasilnya adalah sebuah statemen terbaik
untuk mengungkapkan metode positivistik yang diterapkan dizamannya.
Perluasan baru atas ide-ide ini
terdapat dalam karya Durkeim, Suiced ( Bunuh Diri), dia membagi bunuh diri
menjadi empat macam:
1. Altruistik
(Dimana kasus bunuh diri terjadi demi kepentingan kelompok seperti, seorang
pahlawan perang).
2. Egoistik
(karena adanya kekurangan dalm organisasi sosial dan berupaya untuk menjauhkan
diri dari kelompok itu)
3. Anomik,dimana
penyesuaian masyarakat terganggu oleh perubahan sosial yang negatif
4. Fatalistic,
tidak terlalu banyak dibahas oleh Durkheim
Menurut Durkeim, masalah
sentral dari eksistensi sosial adalah masalah keteraturan, bagaimana mencapai
solidaritas sosial dalam masyarakat. Masyarakat dengan tipe yang berbeda-beda
mencapai solidaritas sosial dengan cara yang berbeda pula. Pada masyarakat
pra-modern, tradisional, dimana manusia hidup dengan cara yang hampir sama satu
dengan yang lain. Buntuk solidaritas mekanik ini adalah hasil dari pembagian
kerja yang sederhana, mereka memiliki bersama aturan-aturan kolektif yang
mengatur bagaimana berperilaku yang dipenuhi tanpa kesukaran yang berarti.
Masalah kompleks pada masyarakat modern, ada beragam peranan dan cara untuk
hidup sehingga solidaritas sosial menjadi jauh lebih sukar dicapai. Bagi Durkeim
ini adalah bahaya utama dari modernitas. Kekuatan yang memisahkan dan
membagi-bagi orang begitu besar sehingga disentegrasi sosial adalah ancaman
yang nyata. masalahnya adalah bahwa modernitas mendorong terjadinya
individualisme.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar,
Wardi. 2006. “Sosiologi Klasik dari Comte
hingga Parsons”. Jakarta: PT Remaja Rosdakarsa.
Jones
Pip.2009. “Pengantar Teori-teori Sosial”.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Samuel, Hanneman. 2010. Emile
Durkheim Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Ciamis:
Buku Kepik Ungu.
Siahaan,M
Hotman.1986. Pengantar Kearah Sejarah dan
Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga
Jhonshon,
Doyle Paul.1986. Teori Sosiologi Klasik
dan Modern. Jakarta: PT Gramedia